Bersama Tereliye
Tanggal 06 oktober 2017 adalah hari
menyenangkan dalam dunia kepenulisanku. Pasalnya aku bertemu dengan novelis
terbaik versiku siapa lagi jika bukan bang Tereliye. Allah mengijabah setiap
do’a satu persatu. Allah begitu baik padaku. Mengizinkan seperempat mimpiku
menjadi nyata. Belajar langsung pada orang yang aku sukai.
Jadikan menulis sebagai kebiasaan
karena dengan menulis kita dapat berbagi dengan ribuan manusia di belahan bumi
lainnya. Bercerita, berbagi, menghibur dan menginspirasi adalah bagian yang
menjadi tujuan kepenulisan ini. Jika di usia 38 tereliye menerbitkan 28 novel
maka izinkan saya mengikuti jejaknya agar esok ada Tereliye lainnya dengan
tujuan kepenulisan yang sama yakni bermanfaat untuk dunia.
Bang tere tiba di lokasi seminar ditemani
Ust. Suyono dan beberapa Ust lainnya. It’s like the dream become true. Finally I meet
him, someone whom I like best. Dengan balutan kaus casual berwarna hitam bang
Tere berjalan gagah dengan senyuman mengembang disertai sorakan ribuan manusia
yang sedari tadi sudah memenuhi gaserna. He look like chinees. Matanya sipit,
kulitnya putih badannya tinggi tegap dan gurat jenaka yang menghiasi wajahnya. Tapi
ternyata dia seorang pribumi asli sebagaimana jawaban dari pertanyaan yang
kuajukan. Aku tidak punya alasan untuk tidak jatuh hati pada manusia sederhana
ini. Dia menjadi inspiratorku untuk kembali menulis dan mencintai membaca
setelah sebelumnya kehilangan motivasi terbaik untuk itu.
Bang Tere menjelaskan banyak hal.
Sekitar dua jam dia berbagi pada kami tentang hal-hal yang mebuat kami akhirnya
paham bahwa dalam menulis hanya butuh satu hal yakni terbiasa. Sepeti mamak
bang Darwis saat ditanya resep dari masakan terbaiknya. “hanya dimasak-masak
saja”.
Jangan pernah bertanya tentang
bagaimana memilih diksi ataupun merangkai sebuah kalimat terbaik karena
sejatinya kalimat yang baik hanya akan lahir dari tangan tangan yang terbiasa
merangkainya. Tidak akan pernah ada jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Jika
kau tidak percaya maka kau hanya butuh satu langkah saja, yakni membuktikannya
langsung dengan tanganmu.
Dalam seminar ini aku bertekad untuk
bertanya langsung pada bang Tereliye seputar kegelisahan yang aku temukan kala
membaca novelnya. Salah satunya adalah tentang latarbelakang penulisan novel Negeri
Diujung Tanduk Dan Negeri Para Bedebah. Dua novel yang mengisahkan seputar
politik ekonomi di Indonesia. Ketika membaca novel yang satu ini yang ada di
pikiranku saat itu adalah potret nyata dari Indonesia yang diperkuat dengan
presiden berinisial JD.
Saat sesi Tanya jawab akhirnya si
moderator menjatuhkan pilihannya kepadaku dan memberikanku kesempatan bertanya
langsung pada bang Tere. Mungkin ini kali pertama dalam sejarah hidupku aku mau
bertanya di acara yang diadakan di geserna. Dan aku bertanya dengan
wajah sumringah terlebih saat bang Tere merespon pertanyaanku dengan sangat
baik. Haha aku jadi baper kelas teri.
Aku mengajukan tiga pertanyaan dan
dijawab ketiga-tiganya dengan jawaban yang sangat baik dan jenaka. Sosok bang
Tere yang humoris membuat suasana panas geserna menguap dan hanya menyisakan
tawa bersamaan dengan tetes keringat yang mengalir. Entahlah mengapa suhu di
Madura akhir-akhir ini berubah sangat drastis. Menjadi panas nian.
Acara selanjutnya adalah sesi tanda
tangan. Awalnya novel yang ingin ditandatangani diminta untuk dikumpulkan di
meja yang telah disediakan panitia namun akhirnya bang Tere lebih setuju jika
kami langsung maju satu-persatu membawa novel kami masing-masing. Aku paham
maksudnya. Bang Tere tidak ingin membuat jarak antara dirinya dengan siapapun
termasuk fans sekalipun. Karena dia sangat paham bahwa kami memiliki status
yang sama yakni MANUSIA.
Aku langsung berlarian mencari
novelku diantara tumpukan novel lainnya. Setelah berhasil kutemukan aku
langsung berlarian ke arah tangga panggung geserna untuk langsung berdiri di
radius terdekat dengan manusia paling sederhana ini. Sosok guru yang
mengajarkan kesederhanaan dan kebijaksanaan hidup. menjadi peserta seminar pertama yang mendapatkan tanda tangannya sebelum peserta yang lain memenuhi panggung.
Bang Tere menanyakan namaku dan
menuliskannya di novel tersebut. Mungkin ini perlakuan umum seorang penulis
pada fansnya tapi tetap saja aku merasa istimewa. Walaupun aku tidak berhasil
mengambil pose terbaik dengannya. Dia tidak bersedia untuk sesi foto.
Disela-sela penandatanganan aku mencoba memutar otak mencari topik pembicaraan
karena aku sangat ingin bertanya banyak pada sosok di hadapanku ini. Dan
pertanyaan yang keluar dari mulutku saat itu hanyalah “abang gak bagi-bagi
novel gratis ya bang?” dan langsung
dijawabnya dengan ekspresi jenakanya “oh gak ada dek” (dengan intonasi yang
ramah dan senyum mengembang hingga berhasil membenamkan kedua mata sipitnya). Hanya sesingkat itu saja perbincangan
yang kubuat tapi it’s really amazing experience. I want to ask him about other
question next time.
Beberapa orang memutuskan untuk
pulang setelah melewati sesi tanda tangan, aku memilih menunggu bang Tere
pulang. Melihat wajahnya bersamaan dengan mobil hitam yang berkelok di depan
geserna. Aku melambaikan tangan padanya. Walaupun lambaian tanganku samar
di antara lambaian tangan peserta lainnya namun tetap saja itu menyenangkan. Seolah kami
saling mengucapkan salam perpisahan untuk pertemuan yang tidak bisa diagendakan. Untuk perpisahan yang entah kapan kan bersua kembali.
Aku bersyukur menjadi bagian dari
pencinta novel Tereliye, berada di tengah-tengah orang yang juga mencintainya
serta berkesempatan bertemu langsung dan belajar banyak dari setiap kisah yang
dituliskan. Berharap berjumpanya lagi dan lagi dikemudian hari.
Allah hari ini aku berdo’a agar esok
aku menjadi bagian dari sahabat dekat Tereliye, bagian dari orang yang bisa
bertanya banyak padanya. Aku berdo’a agar esok aku juga bisa mengikuti jejaknya
dalam segala kebaikan. Menginspirasi banyak orang dengan kadar ketulusan yang
tinggi.
THE BEST PICT I GOT |
Komentar
Posting Komentar