Tipologi Keberagamaan di Indonesia



MAKALAH
  “Tipologi Keberagamaan di Indonesia
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Islam dan Budaya Lokal
Dosen Pengampu : Ikhwan Amaly, M.Fil.I









Oleh:
Khotimatul Mahbubah




INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP MADURA JAWA TIMUR
 2016-2017 M


KATA PENGANTAR

Maha suci Allah atas segala nikmat yang tidak pernah terputus dan setiap nafas yang berhembus menjadi bukti nyata betapa Allah begitu pengasih dan penyayang dengan tanpa meminta kita membayarnya sedikitpun. Bersyukur menjadi suatu hal yang wajib karena kesempatan indah menjadi muslim dan kesempatan mempelajari Islam di kampus Idia ini serta kesempatan menyusun makalah yang membahas tentang Islam dan Budaya Lokal diharap menjadikan pondasi agama kita semakin kokoh hingga kita bisa bangga menjadi muslim.
Sholawat dan salam akan tetap disenandungkan untuk baginda Muhammad saw yang karena kegigihan beliau menegakkan kalimat tauhid menjadikan kita bersaudara di bawah naungan bendera lailahaillallah. Kesabaran beliau dalam menyampaikan kebenaran Islam menjadikan kita hari ini berada dibawah atap yang sama dan demi satu tujuan yang sama pula yakni mempelajari Islam demi mendekatkan diri pada dzat pemilik ilmu.
Selanjutnya ucapan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan makalah ini khususnya kepada Ust. Ikhwan Amaly, M.Fil.I atas segala penjelasan yang sangat memudahkan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini juga terimakasih atas pemberian tugas ini karena telah melatih saya untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri dan kreatif dalam belajar.
Kritik dan saran sangat saya harapkan mengingat saya termasuk pemula dalam dunia tulis menulis sehingga saya yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga kritik dan saran pembaca dapat memberikan sumbangsih yang sangat berarti demi perbaikan makalah ini hingga layak menjadi rujukan para mahasiswa untuk memahami tentang tipologi keberagamaan di Indonesia.

                                                                                               
Penulis







BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa ras dan agama. Islam, Hindu, Budha, Katolik, Protestan dan Konghucu adalah serentetan agama yang diakui di Indonesia dengan jumlah pengikut yang beragam. Indonesia dikenal dengan Negara mayoritas muslim terbesar di dunia dan diakui sebagai Negara yang paling rukun walaupun hidup berdampingan dengan agama lainnya.
Mayoritas penduduk yang menganut agama Islam sangatlah beragam disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, baik internal ataupun eksternal. Faktor internalnya adalah kecerdasan yang dimiliki setiap orang tentu berbeda sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Objek yang sama bisa melahirkan pemahaman yang berbeda karena masuk dan dicerna oleh akal dan daya paham yang berbeda. Faktor eksternal yang menjadikan keberagaman masyarakat dalam beragama adalah lingkungan sekitar yang mana sangat berpengaruh dalam membentuk konstruk pemikiran setiap orang.
Islam adalah agama yang ajarannya meliputi segala aspek dalam kehidupan karena Islam bertujuan memudahkan kehidupan setiap orang dengan tetap berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Tipe-tipe keberagamaan di Indonesia disebabkan oleh pengalaman rohani yang berbeda antar penganut agama. Banyak orang hanya melihat Islam dari satu sisi sehingga akan menjadikannya kaku serta cenderung keras padahal Islam tidaklah tentang satu hal saja melainkan memiliki berbagai sisi yang akhirnya menjadikan Islam relevan di manapun dan kapanpun ia di praktekkan.
Mempelajari tipologi keberagamaan di Indonesia menjadikan kita lebih luas dalam memandang kehidupan sehingga kita bisa menjadi lebih bijkasana dalam melihat keberagaman cara bergama yang ada sehingga tidak cenderung mengkafirkan satu sama lain karena Islam adalah rahmatan lil’alamin sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana  pengertian tipologi?
2.      Bagaimana bentuk keberagamaan Formalisme, Substansialisme & Spiritualisme?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tipologi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia tipologi berarti ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing.
Tipologi yaitu pengelompokan bahasa berdasarkan ciri khas tata kata dan tata kalimatnya. Mallinson mengemukakan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Kajian tipologi bahasa berusaha menetapkan pengelompokan secara luas berdasarkan sejumlah fitur gramatikal yang saling berhubungan. Dasar dan arah kajian tipologi bahasa berasal dari adanya perbedaan dalam bahasa. Menurut Whalley dalam konteks linguistik, tipologi adalah pengelompokan bahasa-bahasa atau komponen-komponen.[1]

B.     Tipologi Keberagamaan di Indonesia
Manusia adalah makhluk yang dinamis maka pemahamannyapun terus berkembang. Perkembangan pemahaman menjadikan praktik agama terus berubah. Akibat kedinamisan pemikiran manusia muncullah berbagai versi ajaran agama Islam serta perilakunya.[2] Muslim Indonesia dikenal dengan mayoritas muslim terbesar yang memiliki beberapa tipe dalam beragama lalu kemudian diklasifikasikan demi memudahkan kita dalam memahami diantaranya, Formalisme atau dikenal dengan Tekstualisme, Substansialisme atau Kontekstualisme serta Spiritualisme. 
Keberagaman cara beragama adalah manusiawi mengingat Allah menciptakan segala yang ada di dunia ini tidak ada yang identik sama sekali pun mikroorganisme yang perbesarannya menggunakan mikroskop elektron tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Setiap manusia memiliki kepala dengan akal yang berbeda antar setiap individu. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pribahasa Arab Likulli ra’sin ra’yun[3]. Keberagaman dalam Islam adalah rahmat selama itu tidak ada hubungannya dengan akidah yang menjadi pokok atau dasar seseorang dalam beragama.[4]
Pelangi terlihat indah karena warna warninya begitu pula keberagaman muslim dalam beragama adalah indah karena Islam tidak hanya melihat kehidupan dari satu sisi saja. Ada banyak kaca mata yang bisa digunakan seseorang dalam memahami agamanya karena inti dari pada agama adalah kemaslahatan umat.
Islam selalu relavan di manapun dan kapanpun dipraktikkan. Islam itu lentur dan fleksibel sehingga apapun permasalahnnya Islam selalu bisa menjawabnya dengan tetap berpegang teguh pada Al-      Qur’an dan Hadits. Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan sehingga Islam menghargai pula perbedaan pendapat diantara umatnya.
Apabila kita membaca sejarah pra Islam maka akan kita temukan kisah-kisah yang begitu sangat tidak memanusiakan manusia bahkan membatasi ruang gerak akal. Hasil telaah dan pemikiran seperti mempelajari kejiwaan manusia, alam, makhluk hidup, hal-hal gaib, mendirikan fondasi ilmu pengetahuan, membuat kesimpulan sebuah hikmah, mempelajari ilmu filsafat, dan penjelasan tentang aliran pemikiran merupakan hal-hal yang dianggap tidak mendatangkan manfaat bagi manusia.[5] Orang-orang yang berani mengkritik atau bahkan mengemukakan penemuan baru yang lebih rasional akan dipenjara atau bahkan dilemparkan ke dalam kobaran api.
Allah mengutus Muhammad ke tengah-tengah mereka sebagai Nabi dengan membawa ajaran kebenaran demi kemaslahatan umat. Seluruh manusia dituntut untuk menelaah dan berpikir. Mereka diperintahkan mencari dalil dan membuat kesimpulan. Hal yang demikian dilakukan sesuai dengan kemampuan akal masing-masing serta dibantu oleh para ahli kebajikan yang hidup sebelum mereka. Yang demikian untuk menambah ilmu dan menyempurnakan fondasi peradaban mereka.[6]
Ijtihad adalah kebudayaan tertinggi dalam Islam[7] yang menggunakan peran akal. Ijtihad adalah hal yang diperbolehkan dalam Islam terbukti dengan Hadits yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal[8] ke Yaman dan Rasulullah mengizinkannya berijtihad dengan akalnya untuk memecahkan permasalahan di daerah tersebut yang nashnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits.[9]
Islam melarang taklid buta dan taklid dalam hal akidah akan membebani pelakunya dengan dosa seumur hidup. Taklid adalah bencana bagi pemikiran manusia dan sangat tidak terpuji karena seseorang yang taklid tidak akan pernah tau tujuan hidupnya, dia hanya melakukan tanpa tau dalilnya sehingga apa yang dilakukannya tidak pernah mencapai esensi.[10] Dia muslim karena bapak ibunya juga muslim dan yang demikian dikenal dengan istilah membebek karena dia tidak jauh berbeda dengan bebek yang hanya ikut-ikutan barisan di depannya tanpa tau tujuan bahkan ke tempat pemotongan hewan sekalipun tetap akan ikut. Akal adalah anugerah Allah untuk manusia sebagai makhluk yang paling sempurna untuk membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Dan dengan akal pulalah Allah menjadikan manusia lebih mulia dari yang lainnya. 
Zaman terus berkembang permasalahan manusiapun semakin kompleks. Pada zaman Nabi tidak ada perbedaan pendapat antar sahabat karena setiap permasalahan yang ada langsung mereka tanyakan pada Nabi. Setelah Nabi Muhammad wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin meluas maka permasalahan yang dipertanyakanpun semakin kompleks sehingga membutuhkan ijtihad.[11] Islam kali pertama diturunkan di Mekkah namun tidak dikhususkan pada orang-orang Mekkah saja melainkan berlaku universal. Setiap daerah memiliki kebiasaan-kebiasaan dan keyakinan yang telah mereka anut sebelum Islam datang. Permasalahan dan kebutuhan yang ada di setiap daerah tentu berbeda maka wajar apabila di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim memiliki cara masing-masing dalam memahami dan mempraktikkan agamanya.

1.      Formalisme
Formalisme atau dikenal pula dengan istilah tekstualisme adalah salah satu tipe keberagamaan dalam Islam di Indonesia yang memahami ajaran Islam secara tekstual. Istilah lain yang digunakan oleh orang-orang tekstualis adalah Islam normatif, yaitu Islam yang ideal, karena dalam Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan ajaran Islam secara konseptual mengatur berbagai bidang kehidupan manusia serta menjamin bahwa Islam akan menjadi jalan kebaikan.[12]  
Gejala formalisme agama di Indonesia lebih sering diidentikkan dengan formalisasi syariat. Formalisasi syariat Islam yang dilakukan oleh beberapa kalangan umat Islam tidak hanya dipandang dalam satu sisi yaitu sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama. Kemunculan kembali ide penerapan syariat Islam merupakan reaksi terhadap kelemahan yang menimpa umat Islam saat ini. Sebagian kalangan meyakini bahwa jika umat Islam kembali ke ajaran agamanya, maka akan dapat keluar dari masalah yang dihadapi dan kembali menjadi pemimpin dunia. Munculnya berbagai gerakan keagamaan dalam konteks sosial maupun aliran keagamaan, tentu saja bukan disebabkan pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam saja, tetapi juga sebagian besar karena didorong oleh faktor kemiskinan dan ketidak-berdayaan umat Islam. Peran kaum terdidik dari umat Islam adalah salah satunya memberi pencerahan (al-Tanwir) bukan pemalsuan (al-Tazwir) dengan mengedepankan politik yang santun dan jujur, serta ajaran Islam yang benar dan damai (rahmat lil Alamin), sehingga dapat menciptakan masyarakat muslim yang berkualitas di masa depan.[13]
Tekstualisme agama telah berdampak buruk bagi upaya membangun harmoni di tengah masyarakat. Pemahaman terhadap teks ajaran agama yang terlalu kaku menyebabkan sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama yang berbeda. Model pemahaman teks agama secara tekstual dan penolakan terhadap berbagai penafsiran dan pentakwilan itu berdampak buruk pada citra umat Islam yang dipersepsikan eksklusif, kaku, tertutup dan tidak bisa menerima hal-hal baru. Penafsiran dan pentakwilan nash yang tidak didukung secara jelas oleh nash lain dianggap sebagai mengada-ada atau bid’ah dhalalah[14]. Pemahaman kelompok ini bertentangan dengan apa yang dipahami kelompok kontekstualisme.[15]
Tektualisme dipicu oleh cara pemahaman terhadap nash agama yang secara tekstual dan mengabaikan pemahaman nash secara lebih substansial.[16]Kelompok ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan dan tidak jarang juga melakukan kekerasan serta menimbulkan konflik di antara umat Islam.
Kebanyakan orang di luar Islam melihat muslim dan jarang memperhatikan inti dari pada ajaran Islam lalu membuat kesimpulan bahwa Islam adalah sebagaimana muslim. Tidak semua muslim menjalankan apa yang diajarkan dalam Islam sebagaimana yang telah dicontohkan Baginda Nabi dalam kehidupannya sehari-hari. Yang demikian mengakibatkan Islam terstigma negatif akibat ulah muslim yang cenderung keras dengan menggunakan simbol Islam. Kekerasan yang dilakukan sebagian kecil muslim dimanfaatkan oleh pihak-pihak di luar Islam untuk terus memojokkan Islam sehingga dunia memandang Islam sebagai ajaran Radikal yang sebenarnya tidak ada dalam Islam.
Bentuk dan jenis kekerasan agama banyak macam dan ragamnya. Mulai dari yang paling kecil dan sederhana seperti memukul anak agar taat pada orangtua, sampai yang besar seperti angkat senjata melawan rezim yang dianggap memusuhi Islam. Dilihat dari ruang kejadian, kekerasan agama bisa terjadi di ruang domestik seperti kekerasan terhadap anak dan istri, dan bisa juga di ruang publik seperti menghancurkan tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat. Semua ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan agama.
Kekerasan agama seperti dicontohkan di atas salah satu penyebabnya adalah pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Al-Qur’an, seperti kebolehan suami memukul istri bila mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak shalat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.
Seorang tekstualis akan menangkap kebolehan memukulnya ketimbang, katakankah esensi lebih dalam tentang bagaimana mendidik istri dan anak yang ada di balik ayat dan Hadits di atas. Model pemahaman keagamaan yang tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama. Namun itu tidak perlu disalahpahami bahwa agama menjadi sumber kekerasan. Semuanya tergantung bagaimana agama dipahami. Model pemahaman keagamaan yang non-tekstualis jelas tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.
Kekerasan dalam agama tidak semunya disebabkan oleh pemahaman yang tekstualis saja melainkan disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti faktor ekonomi dan latar belakang sosial walaupun pengaruhnya tidak sebesar tekstualis. Seorang yang ilmunya sampai di otak lalu diproses dan dipahami dengan hati akan menjadikan seorang tersebut memiliki kemungkinan kecil dalam bertindak anarkis. Jadi faktor pendidikan juga mempengaruhi perilaku-perilaku kekerasan yang kita saksikan di masyarakat. Semakin terdidik seseorang maka dia akan semakin jauh dari tindak kekerasan dan kriminalitas.
Seseorang yang mengedepankan teks akan menjadi radikal.[17] Jadi, seorang tekstualis cenderung main hakim sendiri, seperti ikut serta memukul pencuri dan membenarkan serta mendukung kebijakan Negara untuk melarang kelompok agama yang dianggap sesat. Pada sisi lain, seorang tekstualis cenderung bias gender, dan tidak toleran baik secara agama maupun politik.
Teks suci yang sarat dengan wacana dan dimensi spiritual, menjadi sekedar catatan dogma-dogma dan norma-norma yang membuat manusia kerdil. Doktrin atau ajaran agama yang asalnya bertujuan liberasi, setelah menjadi teks malah menjadikan manusia terbelenggu oleh makna-makna gramatikal dan leksikal, sehingga manusia kehilangan kebebasannya. Teks kehilangan spiritualitasnya.[18]
Al-Qur’an telah diletakkan sebagai naskah berdimensi tunggal, dimensi tekstual. Ia kehilangan ruhnya, ruh yang menjadikan Al-Qur’an memiliki makna yang luas tak terbatas, dan menjadikannya berdimensi spritual. Kemukjizatan Al-Qur’an yang hanya dipersepsikan dari pendekatan ilmiah atau sains, Al-Qur’an menjadi tidak lebih dari sekedar ensiklopedi ilmu pengetahuan yang sangat sederhana.
Demikian pula dengan ritual-ritual keagamaan. Ritual menjadi aktivitas rutin tanpa jiwa. Ritual dilakukan sekedar sebagai kemestian hukum-hukum syari’at. Karenanya dimensi spiritual tercerabut dari dimensi agama. Ritual sebagai komunikasi spiritual, menjadi sekedar upacara rutin yang bersifat sosial dan jasmaniah. Hal tersebut tampak pada kecenderungan orang untuk lebih memperhatikan detail prilaku badaniah dan performen ritual, dari pada performen spiritual dari ritual tersebut. Demikian pula dengan indikasi-indikai kekhusyuan dan kesahannya.[19]

2.      Substansialisme
Substansialisme adalah sekelompok orang yang memahami agama secara substansi. Mereka meyakini bahwa Islam adalah mengatur kehidupan manusia dan manjadi rahmatan lil’alamin. Islam adalah agama yang damai dan mengajarkan persaudaraan. Orang-orang non muslim paham betul bahwa Islam adalah agama yang anti kekerasan sehingga mereka selalu merasa aman jika tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim.
Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits yang memuat ajaran Islam secara komprehensif baik ibadah yakni hubungan manusia dengan Allah ataupun mu’amalah yakni hubungan manusia dengan manusia. Islam adalah ajaran yang selalu relevan di manapun dan kapanpun dipraktikkan. Islam selalu memudahkan pemeluknya karena Islam bisa dipahami secara kontekstual yaitu berkorelasi dengan ruang dan waktu. Daerah Arab yang menjadi tempat diturunkannya Islam pertama kali secara geografis jelas berbeda dengan daerah lainnya sehingga kebutuhan dan kebiasaan masyarakat jelas berbeda pula. Indonesia misalnya, adalah Negara yang makanan pokoknya beras sedangkan Arab makanan pokoknya adalah kurma sehingga apabila dalam kafarat[20] di perintahkan memberi kurma kepada fakir miskin maka di Indonesia boleh menggunakan beras yang merupakan makanan pokoknya. 
Para substansialis dalam konteks sosial-kemasyarakatan, misalnya, merasa lebih nyaman dengan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit dalam segala hal, tanpa harus memunculkan label yang sering kali hanya mengundang konflik. Para penganut paham ini akan merasa tidak perlu membangun Negara Islam, sebab yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam itu dijalankan sebaik-baiknya oleh warga Negara yang muslim. Para pendukung substansialisme ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keberagaman. Dan kelompok yang muslim moderat berangkat dari sini.[21]
Muslim kontekstualis atau empiris adalah muslim yang benar-benar diamalkan oleh manusia atau masyarakat terkait dengan konteks ruang dan waktu.[22] Islam kontekstual menjadi penyeimbang terhadap istilah Islam tekstual, yaitu Islam yang mutlak benar berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Kontekstualisme atau disebut juga sebagai Islam historis lebih menitik beratkan pada esensi dari ajaran Islam itu sendiri sehingga syarat utama yang harus ada pada orang yang menganggap dirinya sebagai muslim progresif adalah menerima penafsiran kontekstual. Menurut mereka ajaran Islam harus bisa menemukan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi ummat saat ini yang jelas berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya karena Islam adalah petunjuk hidup.
Islam mengajarkan kita untuk tidak berlebihan karena berlebihan dalam memahami secara kontekstual misalnya akan menjadikan kita liberal. Dan liberal cenderung mendahulukan konteks.[23]
Hal-hal yang bisa dipahami secara kontekstual pastinya memiliki batasan-batasan yakni pada hal-hal di luar yang qath’i saja. Hal-hal yang tetap atau qath’i dalam Islam tidak perlu dipersoalkan karena akan tetap begitu sejak zaman Nabi hingga akhir zaman nanti. Kewajiban sholat mislanya, tidak ditemukan pendapat para ulama yang bertentangan dalam hal itu karena sifatnya qath’i sehingga apabila yang qath’i di kontekstualkan maka akan menjadi paham yang liberal seperti argumen kelompok liberal tentang khomer yang diharamkan di Arab karena daerahnya panas sehingga dapat membahayakan tubuh itu berarti menjadi halal di Eropa karena daerahnya yang dingin sehingga tidak membahayakan tubuh.[24]
Contoh nyata yang bisa memudahkan kita memahami dan membedakan antara substansialis dengan lainnya adalah kisah Sayyidina Umar bin Khattab, seorang sahabat Rasul yang ketika itu menjabat sebagai Khalifah. Ketika itu tertangkap seorang pencuri lalu keesokan harinya terjadi hal yang sama, setelah ditelusuri ternyata pencuri itu berasal dari daerah yang sama dan juga masih wilayah kekuasaan Islam akhirnya Khalifah Umar mengetahui penyebabnya yakni daerah tersebut adalah daerah yang miskin sehingga kebutuhan penduduknya tidak terpenuhi. Sebagai kontekstualis Umar tidak serta merta menghukumi pencuri tersebut dengan hukum potong tangan sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits melainkan membebaskan mereka lalu memperbaiki perekonomian di daerah tersebut sehingga kebutuhan rakyatnya terpenuhi.
Kisah lain yang juga masih dari khalifah Umar bin Khattab tentang pemahaman Islam secara kontekstual adalah dalam pembagian harta rampasan perang. Pada zaman Nabi sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an bahwa 4/5 dari ghanimah[25] yang berarti 80% dibagikan kepada pasukan yang mengikuti peperangan sedangkan 20% nya untuk fakir miskin. Pada zaman Khalifah Umar justru dibalik, 20% dibagikan kepada pasukan perang sedangkan 80% disimpan sebagai khas Negara yang nantinya akan dibagikan kepada fakir miskin. Ketika ditanya perihal ini beliau menjawab “dulu pasukan perang menyediakan peralatan perangnya sendiri namun sekarang negaralah yang memfasilitasi”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa teks dalam kitab suci Islam bisa dipahami secara tekstual berdasarkan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan hal ini dipengaruhi ruang dan waktu karena inti dari pada ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan umat.

3.      Spiritualisme
Spiritualisme adalah cara lain dalam memahami agama yang lebih menekankan pada  sikap batiniah, yang untuk mencapainya meniscayakan keikutsertaan dalam kelompok-kelompok eksklusif spiritual-mistik, tasawuf atau tarekat. Paham spiritualisme ini cenderung tidak politis sehingga tidak heran jika kelompok atau paham ini jarang sekali muncul ke permukaan, kecuali kelompok paham ini keluar atau menyimpang dari paham keagamaan mainstream yang berlaku.[26]
Kemunculan kelompok paham spiritualisme ini didorong oleh ketidakpuasan mereka pada paham-paham yang ada, substansialisme dan formalisme/legalisme, yang mereka pandang tidak mampu lagi memfasilitasi perjalanan keagamaan mereka seperti kisah Al-Ghazali[27] yang tidak menemukan kepuasan dalam beragama selain dalam ranah spiritualisme.[28] Spiritualisme merupakan Akar dan Substansi Agama sebab dalam pandangan beberapa teori sejarah agama-agama, spritualisme ditempatkan sebagai akar dari setiap agama. Teori tersebut melihat agama sebagai wujud dari kesadaran manusia akan adanya spirit dalam kehidupaan manusia, bahkan dalam mekanisme alam raya.[29]
Spiritualisme sendiri lahir karena perubahan sosial dalam kehidupan. Karena perbedaan sosial dan daya pikir, nilai-nilai agama akan luntur dengan sendirinya. Nilai-nilai agama yang luntur dipercepat dengan adanya budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam sendiri terdapat spiritualisme yang terkenal, yaitu sufisme. Paham ini telah ada pada zaman Nabi Muhammad saw hingga sekarang ini. Pertama kali spiritualisme muncul bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang.[30]
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.[31] Munculnya hidup sufi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, respon terhadap meningkatnya formalisme.[32]
Menurut salah seorang orientalis bernama Louis Massignon, hidup sufi bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam karena hal tersebut telah ada sejak zaman Nabi Muhammad yang kemudian beliau praktikkan secara langsung dalam kehidupannya sehari-hari. Hidup sufi berarti meninggalkan kesenangan dunia namun tetap melakukan hal-hal yang mesti dilakukaknnya sebagai khalifah di bumi. Nabi adalah seorang sufi yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan dan selalu beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu ibadah yang tidak pernah ditinggalkannya adalah qiyamul lail[33] yang waktunya disepertiga malam terakhir saat semua hamba Allah sedang terlelap, itu artinya ibadah hamba kepada Tuhannya tidak ada hubungannya dengan manusia.
Salah satu contoh hidup sufi yang kita jumpai di masyarakat adalah seorang yang pernah melakukan sholat dzuhur selama dua hari hingga empat hari berturut-turut tanpa jeda. Dia memahami sholat sebagai sujud kepada sang khaliq yang berarti selama 24 jam. Sebagian orang akan bertanya kapankah dia akan melaksanakan sholat ashar, maghrib dan sebagainya? Maka mereka menjawab, dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh adalah nama waktu sholat dan jumlah roka’at yang terbatas hanya perwakilan dari sholat yang harus didirikan setiap harinya.
Contoh lain masyarakat spiritualis adalah satu-satunya kisah yang diabadikan dan diceritakan lengkap dalam Al-Qur’an adalah Nabi Khidir dengan Nabi Musa dalam surah Al-kahfi. Nabi Khidir digambarkan sebagai sosok spiritualis sedangkan Nabi Musa sebagai tokoh Formalis. Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para Nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah s.w.t yang bukan termasuk Nabi dan syuhada namun para Nabi dan para syuhada cemburu dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian timbul kerana pengaruh kisah ini.[34]
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu Negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk Negeri itu, tetapi penduduk Negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam Negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82)
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa beliau seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t. Sebagian lagi mengatakan bahwa beliau seorang Nabi.[35]
Kendala sufi adalah dalam perbendaharaan kata yang bisa mereka gunakan untuk menjelaskan apa yang mereka rasakan. Jika filsafat identik dengan logika maka tasawuf identik dengan rasa. Rasa tidak pernah benar-benar berhasil dijabarkan dengan kata-kata juga tidak pernah bisa dipahami sempurna dengan hanya menggunakan bahasa sehari-hari yang sangat sederhana bahkan dengan kalimat yang tersusun rapipun. Karena subjek yang berbeda akan bisa memahami objek yang sama dengan cara sama-sama merasakan.[36]
Kelompok spiritualis sebagaimana kelompok lainnya juga berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Sebagian orang non spiritualis mengatakan bahwa dunia spiritualis hanya mengada-ada tanpa dalil namun ternyata mereka tetap berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Kelompok lain juga berpendapat bahwa sufi adalah wilayah yang irrasional namun menurut sufi sendiri wilayah mereka memang wilayah yang tidak hanya irrasional namun lebih tepatnya non rasional.
Para sufi mengkategorikan tingkatan keagamaan dalam tiga tingkatan, yaitu “syari’at, (thariqat, sebagai perantara), ma’rifat dan hakikat”. Ketiga tingkatan tersebut dikenal tri-tunggal jalan menuju Tuhan.[37]
Mengenal pintu Syari’at merupakan kewajiban pertama seseorang yang mau menempuh perjalanan mistik. Kategori syari’at, yaitu kategori keberagamaan awal yang masih bersifat minimalis. Menjadikan teks-teks dan sejarah kehidupan empirik para Nabi sebagai pola dan acuan dalam beragama. Thariqat adalah upaya-upaya imitatif dalam melakukan penggemblengan spiritual, dalam tahap-tahap tertentu, yang dirumuskan dan diajarkan oleh sang Mursyid. Sedangkan kategori ma’rifat dicapai ketika ia menyaksikan kedalaman spiritual yang dialami para Nabi dalam pengalaman spiritualnya sendiri.[38]
Sufisme memandang seluruh realitas alamiah termasuk manusia merupakan jejak perwujudan kuasa Ilahi. Dengan dasar keyakinan bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada Allah, sufisme melakukan perubahan cara pandang terhadap dunia, dari cara pandang konvensional. Walau pun umat Islam pada umumnya meyakini bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada Allah, akan tetapi pengetahuan tersebut lebih merupakan pengetahuan dan keyakinan yang doktriner sifatnya. Kaum Sufi, tidak lagi sekedar memandang fenomena tersebut sebagai unsur doktriner dan imani belaka, lebih dari itu mereka berusaha untuk ikut bahkan tampil kemuka untuk menjadi makhluk yang paling banyak bertasbih kepada Allah.[39]
Pengenalan diri, merupakan akar dan syarat mutlak untuk mengenal sesuatu di luar diri. Pengenalan terhadap Tuhan, dalam dunia sufi mutlak harus diawali dengan pengenalan terhadap diri. Man ‘arafa Nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu. Pengenalan diri, dalam tradisi tasawuf merupakan syarat mutlak dalam perjalanan spiritual. Penekanan yang sangat terhadap pentingnya pengenalan diri dan menjadikan diri sebagai pijakan awal dalam perjalanan spiritual, diungkapkan secara sangat radikal oleh Yunus Amre dalam Diwan, sebagaimana dikutip Annemarie: “Jika kau mencari Tuhan, carilah Dia Dalam hatimu, Ia tidak ada di Baitulmaqdis, tidak pula Di Mekkah, atau di dalam haji.” [40]
Wujud dan cara pengenalan diri ini dilakukan dengan beberapa tahap dan persinggahan, antara lain: Taubat, zuhud, faqr, sabr, syukr, khauf dan raja’, ridla, fana wal baqa. Kaum sufi senantiasa menjaga untuk tidak berangan-angan yang melampaui batas. Mereka juga berusaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemenuhan kesenangan duniawi (zuhud).[41]  Karena angan-angan yang melahirkan harapan yang berlebihan bisa melahirkan kekecewaan dan keputusasaan. Kecenderungan untuk menghilangkan angan-angan serta meletakkan kontrol terhadap kecenderungan pemenuhan terhadap hasrat-hasrat material dan duniawi ini dalam dunia tasawuf dikenal dengan wara’.[42]

















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Tipologi yaitu pengelompokan bahasa berdasarkan ciri khas tata kata dan tata kalimatnya.
2.      Formalisme adalah sekolompok masyarakat yang memahami ajaran Islam berdasarkan teks dalam hal ini adalah kelompok fiqih. Dan yang berlebihan dalam kelompok ini cenderung menjadi radikal. Substansialisme adalah kelompok masyarakat yang memahami ajaran Islam berdasarkan konteks ruang dan waktu sehingga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan  kebutuhannyapun senantiasa berubah. Dan berlebihan dalam hal ini cenderung menjadi liberal. Spiritualisme adalah sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan tekstual dan kontekstual dalam beragama sehingga beralih pada aspek batiniah. Dan wilayah spiritual hanya bisa dipahami dengan rasa tidak dengan logika sebagaimana halnya filsafat. Wilayah ini tidak hanya irrasional tapi  termasuk wilayah yang non rasional.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghanimi, Abu Wafa’. 2008. Tasawuf Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Anwar, Rosihon.  2008. Ilmu Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.
Bahar, Khalifi Elyas. 2013. Sosok Nabi Khidir yang Super Misterius. Jogjakarta: Diva Press.
Bakhtiar, Amsal. 2015. .Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Daudy, Ahmad. 1998. Kuliah Ilmu Tasawuf. Jakarta: Bulan Bintang.
Husaini, Adian & Abdurrahman Al-Baghdadi. 2007. Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an,
Jakarta: Gema Insani.
http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/194
Iyubenu,Edi AH. 2015. Berhala-berhala Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD.
Khadziq. 2009. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Teras.
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.
Nata,Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Wajdi, Muhammad Farid. 2005. Islam untuk Satu Dunia. Solo: Era Intermedia.
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2012. Misykat. Jakarta: Insist-Miumi.









[1] https://s.yimg.com/rz/d/yahoo_answers_id-ID_s_f_pw_351x40_answers.png
[2] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Teras,2009) h. 82.
[3] Setiap kepala memiliki pendapat.
[4] Ibid, h. 83.
[5] Muhammad Farid Wajdi, Islam untuk Satu Dunia, (Solo:Era Intermedia,2005), h. 178
[6] Ibid, h. 179
[7] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Teras,2009) h. 81.
[8] Seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar yang ikut baiat pada perjanjian Aqabah kedua hingga termasuk assabiqunal awwalun. Beliau dinyatakan ole Rasulullah sebagai yang menguasai tentang halal dan haram karena keahliannya dalam menguasai fiqih. Kecerdasannya menjadikan Nabi yakin untuk mengutusnya berdakwah ke Yaman.
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Pustaka Setia,2010), h.100.
[10] Muhammad Farid Wajdi, Islam untuk Satu Dunia, (Solo:Era Intermedia,2005), h. 75.
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Pustaka Setia,2010), h.101.
[12] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Teras,2009) h. 3.
[13] http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/194
[14] Perbuatan yang tidak ada pada zaman Nabi dan dianggap sesat karena keluar dari batasan yang diperbolehkan dalam Islam
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2014), h. 152-153.
[16] Ibid, h.48.
[17] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, (Jakarta:Insist-Miumi,2012), h.179.
[18] Edi AH Iyubenu, Berhala-berhala Wacana, (Yogyakarta:IRCiSoD,2015), h.5.
[19] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[20] Denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji sebagai tanda mohon pengampunan.
[21] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, (Jakarta:Insist-Miumi,2012), h.183.
[22] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta:Teras,2009) h. 11.
[23] Opcit, h. 179.
[24] Adian Husaini & Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta:Gema Insani,2007),h.24.
[25] Harta rampasan perang
[26] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[27] Al-ghazali adalah filsuf sekaligus sufi yang hidup pada pertengahan abad ke-5 H dan menulis buku yang berjudul Tahafut Al-Falasifah untuk membantah para filsuf yang sebagian ajarannya dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam
[28] Amsal Bakhtiar, filsafat agama, (Jakarta:Rajawali Pers,2015), h. 28.
[29] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[30] Abu Wafa’ Al-Ghanimi, Tasawuf Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2008), h. ix-x.
[31] Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Bulan Bintang, 1998), h.4.
[32] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawwuf, (Bandung:Pustaka Setia,2008), h. 33.
[33] Bangun di malam hari untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan mendekatkan diri kepadaNya.
[34] Khalifi Elyas Bahar, Sosok Nabi Khidir yang Super Misterius, (Jogjakarta:Diva Press, 2013), h.6.
[35] Khalifi Elyas Bahar, Sosok Nabi Khidir yang Super Misterius, (Jogjakarta:Diva Press, 2013),h.69-70.
[36] Abu Wafa’ Al-Ghanimi, Tasawuf Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2008), h.6.
[37] Mustofa, Akhlak Tasawwuf, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), h.226.
[38] Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Bulan Bintang, 1998), h.73-74.
[39]  http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[40] Ibid
[41] Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Bulan Bintang, 1998), h.51.
[42] Ibid, h. 56.

Komentar

Postingan Populer