Tipologi Keberagamaan di Indonesia
MAKALAH
“Tipologi Keberagamaan di Indonesia”
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Islam dan Budaya Lokal
Dosen Pengampu : Ikhwan
Amaly, M.Fil.I
Oleh:
Khotimatul
Mahbubah
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP MADURA JAWA TIMUR
2016-2017 M
KATA
PENGANTAR
Maha suci Allah atas
segala nikmat yang tidak pernah terputus dan setiap nafas yang berhembus
menjadi bukti nyata betapa Allah begitu pengasih dan penyayang dengan tanpa
meminta kita membayarnya sedikitpun. Bersyukur menjadi suatu hal yang wajib
karena kesempatan indah menjadi muslim dan kesempatan mempelajari Islam di
kampus Idia ini serta kesempatan menyusun makalah yang membahas tentang Islam
dan Budaya Lokal diharap menjadikan pondasi agama kita semakin kokoh hingga
kita bisa bangga menjadi muslim.
Sholawat dan salam akan
tetap disenandungkan untuk baginda Muhammad saw yang karena kegigihan beliau
menegakkan kalimat tauhid menjadikan kita bersaudara di bawah naungan bendera lailahaillallah. Kesabaran beliau dalam
menyampaikan kebenaran Islam menjadikan kita hari ini berada dibawah atap yang
sama dan demi satu tujuan yang sama pula yakni mempelajari Islam demi
mendekatkan diri pada dzat pemilik ilmu.
Selanjutnya
ucapan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dan mendukung saya
dalam menyelesaikan makalah ini khususnya kepada Ust. Ikhwan Amaly, M.Fil.I
atas segala penjelasan yang sangat memudahkan dalam penyusunan dan penulisan
makalah ini juga terimakasih atas pemberian tugas ini karena telah melatih saya
untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri dan kreatif dalam belajar.
Kritik
dan saran sangat saya harapkan mengingat saya termasuk pemula dalam dunia tulis
menulis sehingga saya yakin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga
kritik dan saran pembaca dapat memberikan sumbangsih yang sangat berarti demi
perbaikan makalah ini hingga layak menjadi rujukan para mahasiswa untuk
memahami tentang tipologi keberagamaan di Indonesia.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah Negara yang terdiri dari berbagai
suku bangsa ras dan agama. Islam, Hindu, Budha, Katolik, Protestan dan Konghucu
adalah serentetan agama yang diakui di Indonesia dengan jumlah pengikut yang
beragam. Indonesia dikenal dengan Negara mayoritas muslim terbesar di dunia dan
diakui sebagai Negara yang paling rukun walaupun hidup berdampingan dengan
agama lainnya.
Mayoritas penduduk yang menganut agama Islam sangatlah
beragam disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, baik internal
ataupun eksternal. Faktor internalnya adalah kecerdasan yang dimiliki setiap
orang tentu berbeda sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Objek yang
sama bisa melahirkan pemahaman yang berbeda karena masuk dan dicerna oleh akal
dan daya paham yang berbeda. Faktor eksternal yang menjadikan keberagaman
masyarakat dalam beragama adalah lingkungan sekitar yang mana sangat
berpengaruh dalam membentuk konstruk pemikiran setiap orang.
Islam adalah agama yang ajarannya meliputi segala
aspek dalam kehidupan karena Islam bertujuan memudahkan kehidupan setiap orang
dengan tetap berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Tipe-tipe keberagamaan di
Indonesia disebabkan oleh pengalaman rohani yang berbeda antar penganut agama.
Banyak orang hanya melihat Islam dari satu sisi sehingga akan menjadikannya
kaku serta cenderung keras padahal Islam tidaklah tentang satu hal saja
melainkan memiliki berbagai sisi yang akhirnya menjadikan Islam relevan di
manapun dan kapanpun ia di praktekkan.
Mempelajari tipologi keberagamaan di Indonesia
menjadikan kita lebih luas dalam memandang kehidupan sehingga kita bisa menjadi
lebih bijkasana dalam melihat keberagaman cara bergama yang ada sehingga tidak
cenderung mengkafirkan satu sama lain karena Islam adalah rahmatan lil’alamin sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad semasa hidupnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana pengertian tipologi?
2. Bagaimana bentuk keberagamaan Formalisme, Substansialisme & Spiritualisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tipologi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia tipologi berarti
ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak
masing-masing.
Tipologi yaitu pengelompokan bahasa berdasarkan ciri
khas tata kata dan tata kalimatnya. Mallinson mengemukakan bahwa bahasa-bahasa
dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Kajian
tipologi bahasa berusaha menetapkan pengelompokan secara luas berdasarkan
sejumlah fitur gramatikal yang saling berhubungan. Dasar dan arah kajian
tipologi bahasa berasal dari adanya perbedaan dalam bahasa. Menurut Whalley
dalam konteks linguistik, tipologi adalah pengelompokan bahasa-bahasa atau
komponen-komponen.[1]
B.
Tipologi Keberagamaan di Indonesia
Manusia adalah makhluk yang dinamis maka pemahamannyapun
terus berkembang. Perkembangan pemahaman menjadikan praktik agama terus
berubah. Akibat kedinamisan pemikiran manusia muncullah berbagai versi ajaran
agama Islam serta perilakunya.[2] Muslim
Indonesia dikenal dengan mayoritas muslim terbesar yang memiliki beberapa tipe
dalam beragama lalu kemudian diklasifikasikan demi memudahkan kita dalam
memahami diantaranya, Formalisme atau dikenal dengan Tekstualisme,
Substansialisme atau Kontekstualisme serta Spiritualisme.
Keberagaman
cara beragama adalah manusiawi mengingat Allah menciptakan segala yang ada di
dunia ini tidak ada yang identik sama sekali pun mikroorganisme yang
perbesarannya menggunakan mikroskop elektron tidaklah sama antara satu dengan
lainnya. Setiap manusia memiliki kepala dengan akal yang berbeda antar setiap
individu. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pribahasa Arab Likulli ra’sin ra’yun[3].
Keberagaman dalam Islam adalah rahmat selama itu tidak ada hubungannya
dengan akidah yang menjadi pokok atau dasar seseorang dalam beragama.[4]
Pelangi terlihat indah karena warna warninya begitu
pula keberagaman muslim dalam beragama adalah indah karena Islam tidak hanya
melihat kehidupan dari satu sisi saja. Ada banyak kaca mata yang bisa digunakan
seseorang dalam memahami agamanya karena inti dari pada agama adalah kemaslahatan
umat.
Islam selalu relavan di manapun dan kapanpun dipraktikkan.
Islam itu lentur dan fleksibel sehingga apapun permasalahnnya Islam selalu bisa
menjawabnya dengan tetap berpegang teguh pada Al- Qur’an dan Hadits. Islam memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan sehingga Islam menghargai pula
perbedaan pendapat diantara umatnya.
Apabila kita membaca sejarah pra Islam maka akan kita
temukan kisah-kisah yang begitu sangat tidak memanusiakan manusia bahkan
membatasi ruang gerak akal. Hasil telaah dan pemikiran seperti mempelajari
kejiwaan manusia, alam, makhluk hidup, hal-hal gaib, mendirikan fondasi ilmu
pengetahuan, membuat kesimpulan sebuah hikmah, mempelajari ilmu filsafat, dan
penjelasan tentang aliran pemikiran merupakan hal-hal yang dianggap tidak
mendatangkan manfaat bagi manusia.[5] Orang-orang
yang berani mengkritik atau bahkan mengemukakan penemuan baru yang lebih
rasional akan dipenjara atau bahkan dilemparkan ke dalam kobaran api.
Allah mengutus Muhammad ke tengah-tengah mereka
sebagai Nabi dengan membawa ajaran kebenaran demi kemaslahatan umat. Seluruh
manusia dituntut untuk menelaah dan berpikir. Mereka diperintahkan mencari
dalil dan membuat kesimpulan. Hal yang demikian dilakukan sesuai dengan
kemampuan akal masing-masing serta dibantu oleh para ahli kebajikan yang hidup
sebelum mereka. Yang demikian untuk menambah ilmu dan menyempurnakan fondasi
peradaban mereka.[6]
Ijtihad adalah kebudayaan tertinggi dalam Islam[7]
yang menggunakan peran akal. Ijtihad adalah hal yang diperbolehkan dalam Islam
terbukti dengan Hadits yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal[8] ke
Yaman dan Rasulullah mengizinkannya
berijtihad dengan akalnya untuk memecahkan permasalahan di daerah tersebut yang
nashnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits.[9]
Islam melarang taklid buta dan taklid dalam hal akidah
akan membebani pelakunya dengan dosa seumur hidup. Taklid adalah bencana bagi
pemikiran manusia dan sangat tidak terpuji karena seseorang yang taklid tidak
akan pernah tau tujuan hidupnya, dia hanya melakukan tanpa tau dalilnya
sehingga apa yang dilakukannya tidak pernah mencapai esensi.[10]
Dia muslim karena bapak ibunya juga muslim dan yang demikian dikenal dengan
istilah membebek karena dia tidak jauh berbeda dengan bebek yang hanya
ikut-ikutan barisan di depannya tanpa tau tujuan bahkan ke tempat pemotongan
hewan sekalipun tetap akan ikut. Akal adalah anugerah Allah untuk manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna untuk membedakannya dengan makhluk hidup
lainnya. Dan dengan akal pulalah Allah menjadikan manusia lebih mulia dari yang
lainnya.
Zaman terus berkembang permasalahan manusiapun semakin
kompleks. Pada zaman Nabi tidak ada perbedaan pendapat antar sahabat karena
setiap permasalahan yang ada langsung mereka tanyakan pada Nabi. Setelah Nabi
Muhammad wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin meluas maka permasalahan
yang dipertanyakanpun semakin kompleks sehingga membutuhkan ijtihad.[11]
Islam kali pertama diturunkan di Mekkah namun tidak dikhususkan pada
orang-orang Mekkah saja melainkan berlaku universal. Setiap daerah memiliki
kebiasaan-kebiasaan dan keyakinan yang telah mereka anut sebelum Islam datang.
Permasalahan dan kebutuhan yang ada di setiap daerah tentu berbeda maka wajar
apabila di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim memiliki cara
masing-masing dalam memahami dan mempraktikkan agamanya.
1.
Formalisme
Formalisme atau dikenal pula dengan istilah
tekstualisme adalah salah satu tipe keberagamaan dalam Islam di Indonesia yang
memahami ajaran Islam secara tekstual. Istilah lain yang digunakan oleh
orang-orang tekstualis adalah Islam normatif, yaitu Islam yang ideal, karena
dalam Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan ajaran Islam secara konseptual mengatur
berbagai bidang kehidupan manusia serta menjamin bahwa Islam akan menjadi jalan
kebaikan.[12]
Gejala formalisme agama di Indonesia lebih sering
diidentikkan dengan formalisasi syariat. Formalisasi syariat Islam yang
dilakukan oleh beberapa kalangan umat Islam tidak hanya dipandang dalam satu
sisi yaitu sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama. Kemunculan
kembali ide penerapan syariat Islam merupakan reaksi terhadap kelemahan yang
menimpa umat Islam saat ini. Sebagian kalangan meyakini bahwa jika umat Islam
kembali ke ajaran agamanya, maka akan dapat keluar dari masalah yang dihadapi
dan kembali menjadi pemimpin dunia. Munculnya berbagai gerakan keagamaan dalam
konteks sosial maupun aliran keagamaan, tentu saja bukan disebabkan pemahaman
yang keliru terhadap ajaran Islam saja, tetapi juga sebagian besar karena
didorong oleh faktor kemiskinan dan ketidak-berdayaan umat Islam. Peran kaum
terdidik dari umat Islam adalah salah satunya memberi pencerahan (al-Tanwir)
bukan pemalsuan (al-Tazwir) dengan mengedepankan politik yang santun dan jujur,
serta ajaran Islam yang benar dan damai (rahmat lil Alamin), sehingga dapat
menciptakan masyarakat muslim yang berkualitas di masa depan.[13]
Tekstualisme agama telah berdampak buruk bagi upaya
membangun harmoni di tengah masyarakat. Pemahaman terhadap teks ajaran agama yang
terlalu kaku menyebabkan sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama
yang berbeda. Model pemahaman teks agama secara tekstual dan penolakan terhadap
berbagai penafsiran dan pentakwilan itu berdampak buruk pada citra umat Islam
yang dipersepsikan eksklusif, kaku, tertutup dan tidak bisa menerima hal-hal
baru. Penafsiran dan pentakwilan nash yang tidak didukung secara jelas oleh
nash lain dianggap sebagai mengada-ada atau bid’ah dhalalah[14].
Pemahaman kelompok ini bertentangan dengan apa yang dipahami kelompok
kontekstualisme.[15]
Tektualisme dipicu oleh cara pemahaman terhadap nash
agama yang secara tekstual dan mengabaikan pemahaman nash secara lebih
substansial.[16]Kelompok
ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak sepaham
dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan dan tidak jarang juga
melakukan kekerasan serta menimbulkan konflik di antara umat Islam.
Kebanyakan orang di luar Islam melihat muslim dan
jarang memperhatikan inti dari pada ajaran Islam lalu membuat kesimpulan bahwa
Islam adalah sebagaimana muslim. Tidak semua muslim menjalankan apa yang
diajarkan dalam Islam sebagaimana yang telah dicontohkan Baginda Nabi dalam
kehidupannya sehari-hari. Yang demikian mengakibatkan Islam terstigma negatif
akibat ulah muslim yang cenderung keras dengan menggunakan simbol Islam.
Kekerasan yang dilakukan sebagian kecil muslim dimanfaatkan oleh pihak-pihak di
luar Islam untuk terus memojokkan Islam sehingga dunia memandang Islam sebagai
ajaran Radikal yang sebenarnya tidak ada dalam Islam.
Bentuk dan jenis kekerasan agama banyak macam dan ragamnya.
Mulai dari yang paling kecil dan sederhana seperti memukul anak agar taat pada
orangtua, sampai yang besar seperti angkat senjata melawan rezim yang dianggap
memusuhi Islam. Dilihat dari ruang kejadian, kekerasan agama bisa terjadi di
ruang domestik seperti kekerasan terhadap anak dan istri, dan bisa juga di
ruang publik seperti menghancurkan tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat.
Semua ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan agama.
Kekerasan agama seperti dicontohkan di atas salah satu
penyebabnya adalah pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang
kekerasan baik itu berasal dari Al-Qur’an, seperti kebolehan suami memukul
istri bila mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti
hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh
tahun, dan boleh dipukul (bila tidak shalat) ketika berumur sepuluh, adalah
sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.
Seorang tekstualis akan menangkap kebolehan memukulnya
ketimbang, katakankah esensi lebih dalam tentang bagaimana mendidik istri dan
anak yang ada di balik ayat dan Hadits di atas. Model pemahaman keagamaan yang
tekstualis bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama. Namun itu
tidak perlu disalahpahami bahwa agama menjadi sumber kekerasan. Semuanya
tergantung bagaimana agama dipahami. Model pemahaman keagamaan yang
non-tekstualis jelas tidak mendorong orang untuk melakukan kekerasan agama.
Kekerasan dalam agama tidak semunya disebabkan oleh
pemahaman yang tekstualis saja melainkan disebabkan oleh faktor-faktor lainnya
seperti faktor ekonomi dan latar belakang sosial walaupun pengaruhnya tidak
sebesar tekstualis. Seorang yang ilmunya sampai di otak lalu diproses dan
dipahami dengan hati akan menjadikan seorang tersebut memiliki kemungkinan
kecil dalam bertindak anarkis. Jadi faktor pendidikan juga mempengaruhi
perilaku-perilaku kekerasan yang kita saksikan di masyarakat. Semakin terdidik
seseorang maka dia akan semakin jauh dari tindak kekerasan dan kriminalitas.
Seseorang yang mengedepankan teks akan menjadi
radikal.[17]
Jadi, seorang tekstualis cenderung main hakim sendiri, seperti ikut serta
memukul pencuri dan membenarkan serta mendukung kebijakan Negara untuk melarang
kelompok agama yang dianggap sesat. Pada sisi lain, seorang tekstualis
cenderung bias gender, dan tidak toleran baik secara agama maupun politik.
Teks
suci yang sarat dengan wacana dan dimensi spiritual, menjadi sekedar catatan
dogma-dogma dan norma-norma yang membuat manusia kerdil. Doktrin atau ajaran
agama yang asalnya bertujuan liberasi, setelah menjadi teks malah menjadikan
manusia terbelenggu oleh makna-makna gramatikal dan leksikal, sehingga manusia
kehilangan kebebasannya. Teks kehilangan spiritualitasnya.[18]
Al-Qur’an
telah diletakkan sebagai naskah berdimensi tunggal, dimensi tekstual. Ia
kehilangan ruhnya, ruh yang menjadikan Al-Qur’an memiliki makna yang luas tak
terbatas, dan menjadikannya berdimensi spritual. Kemukjizatan Al-Qur’an yang
hanya dipersepsikan dari pendekatan ilmiah atau sains, Al-Qur’an menjadi tidak
lebih dari sekedar ensiklopedi ilmu pengetahuan yang sangat sederhana.
Demikian
pula dengan ritual-ritual keagamaan. Ritual menjadi aktivitas rutin tanpa jiwa.
Ritual dilakukan sekedar
sebagai kemestian hukum-hukum syari’at. Karenanya dimensi spiritual tercerabut
dari dimensi agama. Ritual sebagai komunikasi spiritual, menjadi sekedar
upacara rutin yang bersifat sosial dan jasmaniah. Hal tersebut tampak pada
kecenderungan orang untuk lebih memperhatikan detail prilaku badaniah dan
performen ritual, dari pada performen spiritual dari ritual tersebut. Demikian
pula dengan indikasi-indikai kekhusyu’an dan kesahannya.[19]
2.
Substansialisme
Substansialisme adalah sekelompok orang yang memahami
agama secara substansi. Mereka meyakini bahwa Islam adalah mengatur kehidupan
manusia dan manjadi rahmatan lil’alamin.
Islam adalah agama yang damai dan mengajarkan persaudaraan. Orang-orang non
muslim paham betul bahwa Islam adalah agama yang anti kekerasan sehingga mereka
selalu merasa aman jika tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya
muslim.
Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits yang memuat
ajaran Islam secara komprehensif baik ibadah yakni hubungan manusia dengan
Allah ataupun mu’amalah yakni hubungan manusia dengan manusia. Islam adalah
ajaran yang selalu relevan di manapun dan kapanpun dipraktikkan. Islam selalu
memudahkan pemeluknya karena Islam bisa dipahami secara kontekstual yaitu
berkorelasi dengan ruang dan waktu. Daerah Arab yang menjadi tempat
diturunkannya Islam pertama kali secara geografis jelas berbeda dengan daerah
lainnya sehingga kebutuhan dan kebiasaan masyarakat jelas berbeda pula. Indonesia
misalnya, adalah Negara yang makanan pokoknya beras sedangkan Arab makanan
pokoknya adalah kurma sehingga apabila dalam kafarat[20]
di perintahkan memberi kurma kepada fakir miskin maka di Indonesia boleh menggunakan
beras yang merupakan makanan pokoknya.
Para substansialis dalam konteks sosial-kemasyarakatan,
misalnya, merasa lebih nyaman dengan penerapan nilai-nilai Islam secara
implisit dalam segala hal, tanpa harus memunculkan label yang sering kali hanya
mengundang konflik. Para penganut paham ini akan merasa tidak perlu membangun Negara
Islam, sebab yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam itu dijalankan
sebaik-baiknya oleh warga Negara yang muslim. Para pendukung substansialisme
ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran
dan menghormati keberagaman. Dan kelompok yang muslim moderat berangkat dari
sini.[21]
Muslim kontekstualis atau empiris adalah muslim yang
benar-benar diamalkan oleh manusia atau masyarakat terkait dengan konteks ruang
dan waktu.[22]
Islam kontekstual menjadi penyeimbang terhadap istilah Islam tekstual, yaitu
Islam yang mutlak benar berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Kontekstualisme atau disebut juga sebagai Islam
historis lebih menitik beratkan pada esensi dari ajaran Islam itu sendiri
sehingga syarat utama yang harus ada pada orang yang menganggap dirinya sebagai
muslim progresif adalah menerima penafsiran kontekstual. Menurut mereka ajaran
Islam harus bisa menemukan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi
ummat saat ini yang jelas berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya karena Islam
adalah petunjuk hidup.
Islam mengajarkan kita untuk tidak berlebihan karena
berlebihan dalam memahami secara kontekstual misalnya akan menjadikan kita
liberal. Dan liberal cenderung mendahulukan konteks.[23]
Hal-hal yang bisa dipahami secara kontekstual pastinya
memiliki batasan-batasan yakni pada hal-hal di luar yang qath’i saja. Hal-hal yang tetap atau qath’i dalam Islam tidak perlu dipersoalkan karena akan tetap
begitu sejak zaman Nabi hingga akhir zaman nanti. Kewajiban sholat mislanya,
tidak ditemukan pendapat para ulama yang bertentangan dalam hal itu karena
sifatnya qath’i sehingga apabila yang
qath’i di kontekstualkan maka akan menjadi paham yang liberal seperti argumen
kelompok liberal tentang khomer yang diharamkan di Arab karena daerahnya panas
sehingga dapat membahayakan tubuh itu berarti menjadi halal di Eropa karena
daerahnya yang dingin sehingga tidak membahayakan tubuh.[24]
Contoh nyata yang bisa memudahkan kita memahami dan
membedakan antara substansialis dengan lainnya adalah kisah Sayyidina Umar bin
Khattab, seorang sahabat Rasul yang ketika itu menjabat sebagai Khalifah. Ketika itu tertangkap
seorang pencuri lalu keesokan harinya terjadi hal yang sama, setelah ditelusuri
ternyata pencuri itu berasal dari daerah yang sama dan juga masih wilayah
kekuasaan Islam akhirnya Khalifah Umar mengetahui penyebabnya yakni daerah
tersebut adalah daerah yang miskin sehingga kebutuhan penduduknya tidak
terpenuhi. Sebagai kontekstualis Umar tidak serta merta menghukumi pencuri
tersebut dengan hukum potong tangan sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan Hadits melainkan membebaskan mereka lalu memperbaiki perekonomian di daerah
tersebut sehingga kebutuhan rakyatnya terpenuhi.
Kisah lain yang juga masih dari khalifah Umar bin
Khattab tentang pemahaman Islam secara kontekstual adalah dalam pembagian harta
rampasan perang. Pada zaman Nabi sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an bahwa
4/5 dari ghanimah[25]
yang berarti 80% dibagikan kepada pasukan yang mengikuti peperangan
sedangkan 20% nya untuk fakir miskin. Pada zaman Khalifah Umar justru dibalik,
20% dibagikan kepada pasukan perang sedangkan 80% disimpan sebagai khas Negara
yang nantinya akan dibagikan kepada fakir miskin. Ketika ditanya perihal ini
beliau menjawab “dulu pasukan perang menyediakan peralatan perangnya sendiri
namun sekarang negaralah yang memfasilitasi”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
teks dalam kitab suci Islam bisa dipahami secara tekstual berdasarkan kebutuhan
masyarakat yang dinamis dan hal ini dipengaruhi ruang dan waktu karena inti
dari pada ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan umat.
3.
Spiritualisme
Spiritualisme
adalah cara lain dalam memahami agama yang lebih menekankan pada sikap batiniah, yang untuk mencapainya
meniscayakan keikutsertaan dalam kelompok-kelompok eksklusif spiritual-mistik,
tasawuf atau tarekat. Paham spiritualisme ini cenderung tidak politis sehingga
tidak heran jika kelompok atau paham ini jarang sekali muncul ke permukaan,
kecuali kelompok paham ini keluar atau menyimpang dari paham keagamaan mainstream yang berlaku.[26]
Kemunculan
kelompok paham spiritualisme ini didorong oleh ketidakpuasan mereka pada
paham-paham yang ada, substansialisme dan formalisme/legalisme, yang mereka
pandang tidak mampu lagi memfasilitasi perjalanan keagamaan mereka seperti
kisah Al-Ghazali[27]
yang tidak menemukan kepuasan dalam beragama selain dalam ranah spiritualisme.[28] Spiritualisme merupakan
Akar dan Substansi Agama sebab
dalam pandangan beberapa teori sejarah agama-agama, spritualisme ditempatkan sebagai akar
dari setiap agama. Teori
tersebut melihat agama sebagai wujud dari kesadaran manusia akan adanya spirit
dalam kehidupaan manusia, bahkan dalam mekanisme alam raya.[29]
Spiritualisme sendiri lahir karena perubahan sosial
dalam kehidupan. Karena perbedaan sosial dan daya pikir, nilai-nilai agama akan
luntur dengan sendirinya. Nilai-nilai agama yang luntur dipercepat dengan
adanya budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam sendiri
terdapat spiritualisme yang terkenal, yaitu sufisme. Paham ini telah ada pada zaman
Nabi Muhammad saw hingga sekarang ini. Pertama kali spiritualisme muncul bertujuan
untuk menciptakan kehidupan yang seimbang.[30]
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih
kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang
bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau
pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan
bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.[31] Munculnya
hidup sufi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, respon terhadap
meningkatnya formalisme.[32]
Menurut salah seorang orientalis bernama Louis
Massignon, hidup sufi bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam karena hal
tersebut telah ada sejak zaman Nabi Muhammad yang kemudian beliau praktikkan
secara langsung dalam kehidupannya sehari-hari. Hidup sufi berarti meninggalkan
kesenangan dunia namun tetap melakukan hal-hal yang mesti dilakukaknnya sebagai
khalifah di bumi. Nabi adalah
seorang sufi yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan dan selalu beribadah
mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu ibadah yang tidak pernah
ditinggalkannya adalah qiyamul lail[33]
yang waktunya disepertiga malam terakhir saat semua hamba Allah sedang
terlelap, itu artinya ibadah hamba kepada Tuhannya tidak ada hubungannya dengan
manusia.
Salah satu contoh hidup sufi yang kita jumpai di masyarakat
adalah seorang yang pernah melakukan sholat dzuhur selama dua hari hingga empat
hari berturut-turut tanpa jeda. Dia memahami sholat sebagai sujud kepada sang khaliq yang berarti selama 24 jam. Sebagian
orang akan bertanya kapankah dia akan melaksanakan sholat ashar, maghrib dan
sebagainya? Maka mereka menjawab, dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh adalah
nama waktu sholat dan jumlah roka’at yang terbatas hanya perwakilan dari
sholat yang harus didirikan setiap harinya.
Contoh lain masyarakat spiritualis adalah satu-satunya
kisah yang diabadikan dan diceritakan lengkap dalam Al-Qur’an adalah Nabi
Khidir dengan Nabi Musa dalam surah Al-kahfi. Nabi Khidir digambarkan sebagai
sosok spiritualis sedangkan Nabi Musa sebagai tokoh Formalis. Ilmu Musa yang
berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang
berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat
menjadi hal yang sangat samar sehingga para Nabi pun sulit memahaminya. Awan
tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat
yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan
terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah s.w.t yang bukan
termasuk Nabi dan syuhada namun para Nabi dan para syuhada cemburu dengan ilmu
mereka. Keyakinan demikian timbul kerana pengaruh kisah ini.[34]
“Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya
menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melubangi
perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu
telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah
aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama
denganku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih
itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan
aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur kepadaku.’ Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu Negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk Negeri itu, tetapi penduduk Negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam Negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa
berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir
berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang
tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong
orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang
yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi:
71-82)
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian
mereka mengatakan bahwa beliau seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t.
Sebagian lagi mengatakan bahwa beliau seorang Nabi.[35]
Kendala sufi adalah dalam perbendaharaan kata yang
bisa mereka gunakan untuk menjelaskan apa yang mereka rasakan. Jika filsafat identik
dengan logika maka tasawuf identik dengan rasa. Rasa tidak pernah benar-benar
berhasil dijabarkan dengan kata-kata juga tidak pernah bisa dipahami sempurna
dengan hanya menggunakan bahasa sehari-hari yang sangat sederhana bahkan dengan
kalimat yang tersusun rapipun. Karena subjek yang berbeda akan bisa memahami objek
yang sama dengan cara sama-sama merasakan.[36]
Kelompok spiritualis sebagaimana kelompok lainnya juga
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Sebagian orang non spiritualis mengatakan
bahwa dunia spiritualis hanya mengada-ada tanpa dalil namun ternyata mereka
tetap berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Kelompok lain juga berpendapat
bahwa sufi adalah wilayah yang irrasional namun menurut sufi sendiri wilayah
mereka memang wilayah yang tidak hanya irrasional namun lebih tepatnya non
rasional.
Para
sufi mengkategorikan
tingkatan keagamaan dalam tiga tingkatan, yaitu “syari’at, (thariqat, sebagai
perantara), ma’rifat dan hakikat”. Ketiga tingkatan tersebut dikenal tri-tunggal
jalan menuju Tuhan.[37]
Mengenal
pintu Syari’at merupakan kewajiban pertama seseorang yang mau menempuh
perjalanan mistik. Kategori syari’at, yaitu kategori keberagamaan awal yang
masih bersifat minimalis. Menjadikan teks-teks dan sejarah kehidupan empirik
para Nabi sebagai pola dan acuan dalam beragama. Thariqat adalah upaya-upaya imitatif
dalam melakukan penggemblengan spiritual, dalam tahap-tahap tertentu, yang
dirumuskan dan diajarkan oleh sang Mursyid. Sedangkan kategori ma’rifat dicapai
ketika ia menyaksikan kedalaman spiritual yang dialami para Nabi dalam
pengalaman spiritualnya sendiri.[38]
Sufisme
memandang seluruh realitas alamiah termasuk manusia merupakan jejak perwujudan
kuasa Ilahi. Dengan dasar keyakinan bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada
Allah, sufisme melakukan perubahan cara pandang terhadap dunia, dari cara
pandang konvensional. Walau pun umat Islam pada umumnya meyakini bahwa seluruh
makhluk bertasbih kepada Allah, akan tetapi pengetahuan tersebut lebih
merupakan pengetahuan dan keyakinan yang doktriner sifatnya. Kaum Sufi, tidak
lagi sekedar memandang fenomena tersebut sebagai unsur doktriner dan imani
belaka, lebih dari itu mereka berusaha untuk ikut bahkan tampil kemuka untuk
menjadi makhluk yang paling banyak bertasbih kepada Allah.[39]
Pengenalan
diri, merupakan akar dan syarat mutlak untuk mengenal sesuatu di luar diri.
Pengenalan terhadap Tuhan, dalam dunia sufi mutlak harus diawali dengan
pengenalan terhadap diri.
Man ‘arafa Nafsahu, faqad
‘arafa rabbahu. Pengenalan
diri, dalam tradisi tasawuf merupakan syarat mutlak dalam perjalanan spiritual.
Penekanan yang sangat terhadap pentingnya pengenalan diri dan menjadikan diri
sebagai pijakan awal dalam perjalanan spiritual, diungkapkan secara sangat
radikal oleh Yunus Amre dalam Diwan, sebagaimana dikutip Annemarie: “Jika kau mencari
Tuhan, carilah Dia Dalam hatimu, Ia tidak ada di Baitulmaqdis, tidak pula Di Mekkah,
atau di dalam haji.” [40]
Wujud
dan cara pengenalan diri ini dilakukan dengan beberapa tahap dan persinggahan,
antara lain: Taubat, zuhud, faqr, sabr, syukr, khauf dan raja’, ridla, fana wal
baqa. Kaum sufi senantiasa menjaga untuk tidak berangan-angan yang melampaui
batas. Mereka juga
berusaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemenuhan
kesenangan duniawi
(zuhud).[41]
Karena angan-angan yang melahirkan
harapan yang berlebihan bisa melahirkan kekecewaan dan keputusasaan.
Kecenderungan untuk menghilangkan angan-angan serta meletakkan kontrol terhadap
kecenderungan pemenuhan terhadap hasrat-hasrat material dan duniawi ini dalam
dunia tasawuf dikenal dengan wara’.[42]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Tipologi yaitu pengelompokan bahasa berdasarkan ciri khas tata kata dan
tata kalimatnya.
2. Formalisme adalah sekolompok masyarakat yang memahami ajaran Islam
berdasarkan teks dalam hal ini adalah kelompok fiqih. Dan yang berlebihan dalam
kelompok ini cenderung menjadi radikal. Substansialisme adalah kelompok
masyarakat yang memahami ajaran Islam berdasarkan konteks ruang dan waktu
sehingga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan kebutuhannyapun senantiasa berubah. Dan
berlebihan dalam hal ini cenderung menjadi liberal. Spiritualisme adalah
sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan tekstual dan kontekstual dalam
beragama sehingga beralih pada aspek batiniah. Dan wilayah spiritual hanya bisa
dipahami dengan rasa tidak dengan logika sebagaimana halnya filsafat. Wilayah ini
tidak hanya irrasional tapi termasuk
wilayah yang non rasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghanimi, Abu Wafa’. 2008. Tasawuf Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu
Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia.
Bahar, Khalifi Elyas. 2013. Sosok Nabi Khidir yang
Super Misterius. Jogjakarta: Diva Press.
Bakhtiar, Amsal. 2015. .Filsafat
Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Daudy, Ahmad. 1998. Kuliah Ilmu Tasawuf. Jakarta:
Bulan Bintang.
Husaini, Adian & Abdurrahman Al-Baghdadi. 2007. Hermeneutika
& Tafsir Al-Qur’an,
Jakarta: Gema Insani.
http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/194
Iyubenu,Edi
AH. 2015. Berhala-berhala Wacana. Yogyakarta: IRCiSoD.
Khadziq. 2009. Islam
dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Teras.
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawwuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Nata,Abuddin. 2014. Metodologi Studi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Wajdi, Muhammad Farid. 2005. Islam untuk Satu Dunia. Solo: Era Intermedia.
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2012. Misykat. Jakarta: Insist-Miumi.
[1] https://s.yimg.com/rz/d/yahoo_answers_id-ID_s_f_pw_351x40_answers.png
[8] Seorang sahabat Nabi dari
kaum Anshar yang ikut baiat pada perjanjian Aqabah kedua hingga termasuk assabiqunal
awwalun. Beliau dinyatakan ole Rasulullah sebagai yang menguasai tentang
halal dan haram karena keahliannya dalam menguasai fiqih. Kecerdasannya
menjadikan Nabi yakin untuk mengutusnya berdakwah ke Yaman.
[14] Perbuatan yang tidak ada pada zaman Nabi dan
dianggap sesat karena keluar dari batasan yang diperbolehkan dalam Islam
[19] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[20] Denda yang harus dibayar karena
melanggar larangan Allah atau melanggar janji sebagai tanda mohon pengampunan.
[24] Adian Husaini &
Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta:Gema
Insani,2007),h.24.
[26] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[27] Al-ghazali adalah filsuf
sekaligus sufi yang hidup pada pertengahan abad ke-5 H dan menulis buku yang
berjudul Tahafut Al-Falasifah untuk membantah para filsuf yang sebagian
ajarannya dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam
[29] http://dakwahislamdankebathinan.blogspot.com/2011/06/spiritualisme-agama.html
[34] Khalifi Elyas Bahar, Sosok
Nabi Khidir yang Super Misterius, (Jogjakarta:Diva Press, 2013), h.6.
[35] Khalifi Elyas Bahar, Sosok
Nabi Khidir yang Super Misterius, (Jogjakarta:Diva Press, 2013),h.69-70.
Komentar
Posting Komentar