Bapak Becak Hero
Hari
itu aku berangkat menuju pamekasan dengan Liqo', salah satu sahabat yang selalu
bisa menciptakan tawa di tengah panas. Kadang aku berpikir bahwa dunia
lawak adalah salah satu bakat natural dalam dirinya. Kami berangkat sekitar jam
09:00 WIB setelah mendapat izin dari pengurus asrama. Hari itu jum'at, hari
libur bagi kami penghuni asrama Salsabila.
Aku
berjalan menyusuri barisan trotoar pamekasan dengan menumpang jasa becak kayuh
yang dengan mudah dijumpai di pinggir jalanan kota. Kami memiliki satu tujuan
inti yakni, membeli perlengkapan cat untuk mengganti milik Pak Zul yang
dihilangkan si Liqo' setelah kompetisi kaligrafi di UTM.
Kami
mengelilingi Pamekasan hingga kami berhasil menghafal setiap sudut kota karena
telah 3-4 kali kami melintasi jalan yang sama, namun toko yang menyediakan
perlengkapan melukis itu tidak kunjung kami temukan. Dan akhirnya kami berhasil
menemukannya setelah bertanya pada setiap toko yang kami kunjungi. Peralatan
itu dijual di toko bangunan.
Setelah
menyelesaikan semua agenda kunjungan yang kami buat di list catatan kecil kami
ditambah lagi beberapa kunjungan tak terduga karena tergoda dengan
pernak-pernik yang ditawarkan, maka perjalanan kamipun berakhir bersamaan
dengan berakhirnya tugas matahari menerangi bumi. Ketika ia tumbang bersama
siluet senja. Apakah perjalanan kami melelahkan? tentu saja tidak bagi kami
para sophaholic.
Kami
memutuskan untuk sholat di masjid Agung Asy-Syuhada' Pamekasan karena adzan
maghrib sudah terdengar merdu dari corong menara hijau masjid yang berdiri
gagah di tengah kota.
Setelah
selesai melaksanakan ibadah sholat maghrib kamipun berjalan di atas trotoar
alun-alun areklancor yang menjadi landmark
kota Pamekasan. Menunggu jasa becak kayuh yang bersedia menemani kami menuju Damri.
Akhirnya setelah beberapakali melambaikan tangan memanggil pak becak maka
seorang bapak paruh baya menghampiri kami dengan senyum mengembang di wajah
lesunya. berbekas kerja keras di rahangnya yang tegas. Ia menyapa kami berdua
dengan ramah dan bertanya arah tujuan kami. Setelah menjelaskan secara
singkat maka kamipun diantar menuju pertigaan Damri tempat busmini menunggu
calon penumpangnya.
Rupanya
busmini terakhir menuju asrama sudah lewat. Ini berarti kami tidak mendapatkan
angkutan untuk pulang ke asrama. Kemudian sekelompok bapak-bapak berbadan gagah
menghampiri dan menyapa kami dengan menawarkan jasa ojek dengan bayaran yang
relatif murah. Tiba-tiba firasat burukku muncul. Entahlah kalian sebut ini su'udzan atau lebih pada hati-hati
terhadap orang asing. Tapi sebenarnya aku takut naik ojek. Parno karena
imej buruk tukang ojek yang diberitakan di TV. Aku tidak pernah membayangkan
nyawaku akan berakhir malam itu. Bagaimanapun aku tetap ingin menghembuskan
nafas terakhirku dengan tenang setidaknya di atas sajadah yang terhampar di
tempat sholat.
Bapak
dengan tubuh gempal itu terus memaksaku ikut ojeknya dan rasa takutkupun
semakin meningkat ke taraf maksimal. Entahlah dengan teman di sebelahku, apakah
dia sedang merasakan takut yang sama denganku atau tidak. Bapak-bapak yang lain
di sekitar kami menjelaskan bahwa bis yang paling terakhir akan lewat di
pertigaan Tambung Pamekasan. Entahlah daerah mana itu aku tidak tau pasti.
Hanya saja sesekali pernah mendengar orang-orang menyebut nama daerah itu.
Akhirnya dengan rasa takut itu aku memutuskan untuk ikut pak becak yang sedari
tadi masih menungguku. Sepertinya ia menangkap rasa takut yang terekspresi.
Aku
menolak tawaran bapak ojek itu dengan halus, beralasan akan bermalam di rumah
temanku yang tidak jauh dari tempat pemberhentian bis tersebut. Aku kemudian
menyampaikan maksudku pada bapak becak untuk ikut dengannya saja dan mengatakan
bahwa aku takut naik ojek dengan suara setengah berbisik takut-takut bapak yang
menawarkan jasa ojek tadi mendengar dialog kami. Pak becak paruh baya itupun
mengangguk pasti dan berjanji mengantarku ke pertigaan Tambung yang tidak
kuketahui letak pastinya.
Kami
melewati perempatan perpustakaan umum Pamekasan lalu terus melaju ke arah timur
menuju arah asem manis. Aku lihat bapak becak paruh baya ini turun dari posisi
duduknya dan mendorong becak yang aku tumpangi dengan sekuat tenaga. Sepertinya
ini adalah tanjakan. Lihatlah keringat mengucur deras dari
pelipisnya. Lalu aku berbisik pada Liqo' agar kami berdua turun saja dari
becak, tidak tega melihat ia mendorong becak. Namun kami urungkan
keinginan itu dan mencoba bertanya "pak masih jauh?" "sedikit
lagi dek" jawabnya sembari tersenyum tulus. Bapak becak terus semangat
mengayuh becaknya dan lagi-lagi aku mengajukan pertanyaan yang sama dan
dijawab dengan jawaban yang sama pula. Kenapa pertanyaan itu aku ulang
berkali-kali? bukan karena aku cerewet tapi aku penasaran kenapa arah yang
dituju tidak kunjung berujung dan aku rasa kami sudah sangat jauh dari
keramaian kota. melewati daerah yang sepi dan gelap jauh dari kerlap-kerlip
lampu kota.
Jika
kalian orang pamekasan atau daerah lain yang tahu daerah Tambung pamekasan maka
kalian bisa bayangkan betapa jauhnya jarak pertigaan Tambung dengan pertigaan Damri
itupun dengan melewati rute Asem Manis. setelah tiba dipertigaan Tambung
akhirnya aku dan temanku Liqo' menyadari betapa jauhnya jarak yang telah
kami tempuh lebih-lebih dengan menggunakan jasa becak kayuh. Kamipun bingung
harus memberi ongkos berapa yang pantas untuk ketulusan bapak becak ini. Kami
menyodorkan gulungan uang kertas warna-warni namun kemudian bapak becak ini
menolak dan mengatakan "sudah dek buat ongkos bis saja". Aku terkejut
mendengar jawaban tulus dan mengharukan si bapak becak. Aku dan Liqo' tetap
memaksanya menerima uang tersebut sembari merapal kalimat terimakasih
berulangkali. "Sudah gak usah dek, semoga Allah saja yang
membalasnya" ucapnya dengan senyum tulus terkembang di wajah letihnya.
Tiba-tiba
saja aku merasa sedang bermain film karena bagiku kejadian ini hanya ada
dalam film yang ditayangkan oleh TV swasta. Aku seperti bertemu malaikat dalam
sosok manusia. Di dunia yang sudah seperti sekarang ini ternyata masih ada
sosok tulus berhati emas. Kemudian setelah menitipkan kami berdua pada seorang
bapak-bapak yang juga tengah menunggu bis, bapak becak itupun berlalu meninggalkan
kami dengan punggung baju yang basah oleh keringat. Kami tidak sempat
menanyakan nama ataupun alamat beliau sehingga sesekali bias berkunjung untuk
berterimakasih. Kami benar-benar kehilangan jejaknya dan akupun bukan pengingat
wajah yang baik. Tapi bagaimanapun semoga Allah menjadikan kebaikannya ini
sebagai jalan beliau masuk syurga Allah. Dan kamipun memanggilnya "Bapak
Becak Hero".
Subhanallahhh sungguh muliaanya hati bapak ituu...smga aml kebaikn nya dibalas oleh Allah...
BalasHapuskamu juga seneng kan digratisin
BalasHapushahahha
HUUUU!!!
BalasHapus