Pria di Ujung Madura
Aku kira detik-detik ini aku akan menangis sedih melihat kenyataan
yang mulai ku bayangkan endingnya. Tentang aku dan dia yang tak pernah
menyatakan perasaan satu sama lain. Dia yang lebih banyak bercanda ringan
setiap hari. Dia yang lebih sering tersenyum dan menggodaku di kegiatan
sehari-hari kami, entah itu di kelas, perpustakaan atahu bahkan saat dia
menemaniku berbelanja barang-barang perempuan dan sekedar memberi komentar
pantaskah aku menggunakannya.
Dulu aku merasa bahwa hanya akulah yang harus berada di sebelahnya,
menemaninya dan sekedar bertukar cerita keseharian kami. Aku tidak pernah bisa
membayangkan bagaimana aku akan bernafas di sebelah laki-laki lain selain dia atahu
membayangkan dia akan menggenggam erat tangan gadis lain. Sepertinya aku akan
segera menangis, langit mendung dan suara hujanpun menjadi soundtrack
ceritaku ini. Oh bagaimanalah aku ceritakan rasaku padanya?. Sahabat yang
selalu menemaniku bermain perahu kertas saat hujan deras mengguyur. Atahukah
aku harus menunggunya merasakan hal yang sepertinya tidak mungkin dia rasakan.
Hari ini semua cerita dunia
abu-abuku menguap sudah, menguap persis di bawah langit Sumenep yang tampak
gagah. hilang seperti debu yang beterbangan. Dan lihatlah semua bayangan itu
tidak kulihat hari ini. Aku baik-baik saja, air mataku tidak mengalir deras
bahkan sekedar menetes satu duapun tidak.
“Deka menikah Non” cerita Okta padaku dengan wajah tertekuk dan
terlipat sempurna seperti kertas origami yang dilipat anak TK .
“oh ya? Sama siapa?” tanyaku dengan ekspresi datar tanpa sedikitpun
gurat kesedihan terlihat. Tidak mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar
laptop. Memilih tetap sibuk berkutat dengan tugas skripsi yang harus segera kurampungkan
“sama Kana sepupunya yang tinggal di Negara tetangga” raut wajah
Okta masih sempurna kusut masai. Seperti sedang berbelasungkawa atas kematian
rekan sahabatnya. Persis wajah-wajah yang tampak di pemakaman dengan balutan
kain hitam.
“kenapa kamu tidak sedih Non?” kejar Okta menyelidik menyusul cepat
pertanyaannya secepat laju motor bebek yang diiklankan di tv.
“sudah kubayangkan begini endingnya, dan mungkin aku tidak
benar-benar menyukainya seperti yang aku ceritakan tempo hari Ta”
Sejujurnya terkejut itu ada namun aku berhasil menguasai diri untuk
tidak menunjukkan hal itu di depan Okta. Teman yang kemarin aku nasihati
panjang lebar untuk segera move on dan berhenti uring-uringan hanya
karena cerita cinta yang diskenariokan manusia. Mereka tidak percaya bahwa
skenario langit lebih indah. Jika kau membuat alurnya sendiri sebelum timing
langit tiba maka berarti kau merusak skenario terbaik langit untukmu.
Apakah aku sedih?. Tidak. Aku justru bahagia mendengar kabar ini.
Sebahagia Deka setelah mengucapkan janji suci. Apakah ini bualan hatiku
belaka?. Tidak. Aku sungguh bahagia. Lebih-lebih karena rasa itu memang sudah
hilang sejak Deka benar-benar pergi dari cerita hidup yang aku tuliskan setiap
harinya.
Dia pergi tanpa meninggalkan sepatu seperti Cinderella yang
meninggalkan sepatunya untuk pengeran sehingga memudahkannya mencari. Tapi aku
sama sekali tidak mendapatkan satupun kepingan puzzle untuk kurangkai
menjawab pertanyaan yang bermunculan sejak Deka pergi tanpa jejak. Pergi tanpa
pamit padaku sahabatnya tepat sehari setelah ujian nasional dilaksanakan di
seluruh sekolah di penjuru Indonesia. Bekas tapak kakinya di atas pasir padang
sahara sempurna hilang ditutupi pasir lain yang diterbangkan angin.
Rasa itu sempurna hilang bersamaan dengan keputusan Deka mengakhiri
persahabatan kami. Apakah aku bersalah atas peristiwa ini Deka?. Apakah
aku membuat kesalahan fatal?. Pertanyaan yang sempat aku tanyakan di hari
ulang tahunku yang ke 19 saat semua keanehan itu bermula. Tepatnya dua bulan
sebelum hari 19 itu. Ya, aku yang menghubunginya setelah berpikir jungkir balik
berkali-kali hanya karena takut Deka kemudian mengabaikanku.
Dan hari itu dia hanya menjawab pertanyaanku dengan tawa renyahnya.
Tawa itu, tawa yang selalu meluluhkan benteng pertahan yang susah payah aku
bangun ribuan hari. Yang aku bangun setelah aku patah hati untuk pertama
kalinya dalam hidup karena cinta. Cinta anak baru gede yang menggelikan
jika diputar kembali hari ini. Laki-laki itu bernama Heksa. Sosok yang kucintai
diam-diam dan aku sakit hati setelahnya. Saat aku tahu ternyata dia tidak
seindah yang aku bayangkan. Dia tidak pantas kupuja setelah aku melihatnya
duduk merangkul mesra bahu wanita di sebelahnya yang jelas lebih cantik dariku.
Saat itulah sepulang dari taman kota aku memutuskan membangun benteng
pertahanan dari cinta. Menyusun batu-bata dan semen untuk sebuah tembok yang
kokoh bahkan melebihi tembok China.
“tidak ada yang salah Nona, aku baik-baik saja dan aku tetap Deka
sahabatmu”
“selamat ulang tahun yang ke 19 ya cantik, eh kamu lebih tua dari
aku ya, aku kan masih 18”
“tapi kan tampangku baby face, malah kamu lebih tua dari aku
haha” aku merajuk pada suara di ujung sana yang memang lebih muda 6 bulan
dariku. Entahlah di mana dia sekarang. Aku memilih tidak bertanya hingga dia
merasa perlu menceritakannya padaku.
Setiap hari kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. kemana aku
harus bertanya?. Kemana aku harus meminta pertanggung jawaban atas cinta yang
terbangun tanpa sepengetahuannya?. Aku mencintai Deka dalam diam.
Semua kenangan indah saat kami berlarian bersama mengejar
layang-layang yang jatuh di pinggir pematang garam yang menjadi identitas
kampung kami di mata dunia. Pulau garam, begitulah mereka mengenal baik tanah
kami. Seperti ibu yang mengenal baik anak-anaknya. Kami tertawa lepas bersama khas anak kecil.
Bermain tanah, lumpur dan berbagai hal yang tidak lagi menarik perhatian anak
kecil hari ini untuk memainkannya. Masa kecil kami indah, kami selalu membuat
ide-ide kreatif demi membuat permainan kami menyenangkan.
“Non, aku bahagia menjadi bagian dari cerita indah yang kau tulis,
dan aku bahagia menjadi laki-laki yang berdiri dekat di sebelahmu” ucapnya tersenyum memandang air laut yang tenang lalu memandangku
yang terperanjat bahagia. Wajahku memerah sempurna. Semerah kepiting yang
direbus mamak di dapur tadi malam.
Itu bahasa terindah Deka saat kami berjalan menyisiri salah satu pantai
di daerah Sumenep yang ramai dikunjungi terutama ketika hari libur. Pantai
menjadi tempat favorit kami. Kami sering mengunjungi pantai-pantai indah di
hari libur seperti kebanyakan warga sekitar. Dari pantai satu kepantai yang
lain. Karena pantai selalu memberi kami satu inspirasi setiap kali
memandangnya. Jika demikian maka kami hanya butuh memandang pantai ribuan kali
untuk ribuan inspirasi. Entahlah apa yang Deka maksudkan dengan kalimatnya. Tapi
sepertinya itu hanya bahasa sederhana seorang sahabat pada sahabatnya. Tapi
bagiku yang mencintainya diam-diam itu hal yang indah, ini kalimat romantis.
Aku sibuk dengan tugas-tugas akhir kuliah sebelum hari wisuda itu
tiba. Tiga tahun sudah Deka resmi hilang dari hadapanku. Berhenti menjadi
bagian dari cerita-cerita indah yang kutulis di blog yang dibacanya setiap
hari. Apakah dia menangkap bahasa cinta di sana, disetiap tulisan itu?
Entahlah. Apakah selama tiga tahun itu aku hanya sibuk dengan
Dekaku yang sempurna menghilang? Tidak, aku justru terhibur. Aku mendapatkan
kebahagian baru walau tanpa Deka. Karena aku yakin saat kita tidak temukan
bahagia di satu pintu maka temukan bahagia itu di ribuan pintu lainnya karena
bahagia itu tidak tentang satu hal.
Aku berhasil melalui hari-hari. Bahagia walau tanpa tawa renyah
Deka. Perlahan aku mulai membenci Deka. Ya, aku membencinya. Tepatnya rasa
benci itu sengaja aku bangun karena menurutku dengan rasa benci itulah aku akan
berhasil enyahkan Deka dan hilangkan pertanyaan-pertanyaan yang dari dulu
bermunculan. Tentang kepergian Deka yang misterius.
Apakah aku jatuh hati pada pria lain? Karena mereka bilang move
on itu mudah setelah kau temukan penggantinya. Tapi aku tidak. Aku tidak
sedang mencintai yang lain dan tidak pula masih dipenuhi dengan cinta Deka.
Deka benar-benar hilang dari rasa yang dulu aku puja-puja. Hatiku benar-benar
kosong tapi tidak kering ataupun gersang. Ternyata hari ini aku bisa bahagia
tanpa Deka.
Sesekali aku teringat Deka dan semua pertanyaan yang tak
terjawabkan. Dan setelah itu kesedihan itu menguap menjadi segurat senyum
bahagia Karena hal lainnya. Karena dek Di penghuni panti yang selalu kujumpai
di bawah lampu merah kota Sumenep, pedagang asongan dengan dagangan yang
dikalungkan di lehernya. Senyum riangnya mengajarkanku untuk selalu bahagia
apapun yang terjadi. Dek Di tidak pernah mengeluh walau cerita hidupnya tentu
lebih menyedihkan dari ceritaku. Dia yang ditinggalkan kedua orangtua sejak
balita justru memilih berdamai dengan hidup tanpa menyalahkan takdir.
Aku teringat suatu hari aku menemukan dek Di menangis di bawah
lampu merah seorang diri. Tangisannya membuat langkah kakiku terhenti dan
memaksaku untuk bertanya apa gerangan yang membuatnya sedih.
“dek Di kenapa nangis?” tanyaku dengan nada khawatir. Iba melihat
bocah kecil tanpa alas kaki ini menangis.
“Di baru saja menonton pak de Zawawi membacakan puisinya yang
berjudul ibu di tv pak agus, yang tokonya di pojok terminal sana” ceritanya
padaku sembari menunjuk tempat yang dimaksud dengan telunjuk kanan kecilnya.
“kak Nona, hari ini Di berjanji di hadapan kak Nona bahwa esok Di
akan menjadi penyair dan budayawan sebaik pak de Zawawi dan Di akan menuliskan
puisi terbaik untuk ayah dan ibu. Di rindu mereka kak” janji bocah kecil di
hadapanku ini berhasil membuatku menangis. Bahasanya terdengar tulus. Kalimat
sedihnya menyayat hati terdalam dan aku tidak bisa menahan air mataku. Aku ikut
menemani tangisannya sore itu dengan sambil lalu mengusap air mata yang terus membanjiri
pipinya.
Begitupula mas Tetra yang selalu kujumpai di bawah pohon akasia di
ujung jalan kota, asik melukis tanpa sedikitpun meratapi nasib setelah semua
keluarganya hilang saat kecelakaan pesawat setahun silam. Juga om Penta yang
rajin menunjukkan barisan gigi rapinya di terminal Bangkal. Tempat dia menemukan
kebahagiaan lainnya dengan mengantarkan setiap orang ke tempat yang dituju, setelah
6 bulan yang lalu dia ditinggalkan istri tercinta yang telah menemaninya selama
20 tahun untuk selamanya.
Apa aku harus sedih? Setelah apa yang aku saksikan. Apakah
kehilangan Deka jauh lebih sakit dari semua kesedihan mereka. Hari itu mungkin
iya. Hari di mana Deka pergi menghilang dan satu tahun setelahnya rasa sedih
itu masih sama. Namun aku hanya perlu berdamai dengan waktu. Belajar banyak
dari kesedihan dan opsi-opsi bijak yang mereka pilih untuk terus menyadari
bahwa warna yang disajikan dunia tak akan pernah pudar dan usang walau dimakan
usia.
Deka yang baru kusadari aku sukai tawanya sejak kami masih belajar
tentang sel. Bab pertama di pelajaran biologi kelas XI SMA. Dan sekarang
lihatlah Deka, aku tumbuh dewasa, belajar banyak dari kesedihan pergimu. Aku
lebih bijak mengartikan hidup walau sampai saat ini, saat aku mendengarnya
menikah dengan gadis lain ternyata aku baik-baik saja. Tidak ada genangan air
mata yang aku bayangkan dulu. Banyak misteri yang tak terungkapkan dari Deka.
Aku yang bahkan selalu berdiri dekat di sebelahnya tidak membaca itu
sedikitpun.
Hari ini aku tengah berdiri di samping pematang garam. Tempat aku
kembali bisa mengenang Deka. Memutar memori indah masa kecil kami. Aku memilih
mendatangi tempat ini bukan untuk menambah kadar kesedihan tentang perginya
karena sungguh sedih itu benar-benar tidak lagi ada. Aku benar-benar lupa apa
yang aku rasakan tiga tahun silam. Saat semua tanda Tanya itu membesar dan pecah
memenuhi ruang kepala.
Hari ini aku bisa melihat betapa pematang garam yang membentang
indah berkilau di bawah terik matahari menjadi saksi bahwa kenangan indah itu
pernah kami rangkai dan rajut di tempat ini walau tanpa ada cinta yang
terungkap dari lidah masing-masing. Cinta itu tidak pernah terbahasakan
diantara kami.
Aku ingat di tempat ini pula kami pernah membuat rencana hidup 10
tahun ke depan. Hari di mana kami pertama kali mengenal sel dan mengetahui bahwa
sel adalah satuan struktural dan fungsional terkecil penyusun tubuh makhluk
hidup. Begitulah definisi sel yang diajarkan pak Iqbal, guru biologi terbaik
kami. Beliau mendedikasikan sisa hidupnya untuk mengajar dengan tulus generasi
pemuda Sumenep yang esok akan menjadikan Sumenep sebagai kota yang
diperhitungkan dan dielu-elukan di seantero dunia.
Tempat ini menjadi pilihan saat jam sekolah usai dan setelah
mendapatkan anggukan mamak sebagai tanda izin. Kami duduk di antara pematang garam
dengan menggenggam pena dan buku tulis untuk membuat rencana hidup. Apa yang
kami tuliskan di buku masing-masing menjadi rahasia dan tidak boleh dibaca oleh
orang lain. Aku tidak pernah tahu apa yang ditulis Deka dalam bukunya
begitupula Deka yang tidak pernah tahu apa yang aku tulis tentang rencana
hidupku.
Hari ini tiba-tiba saja terbersit Tanya di benakku apakah mungkin
kepergian Deka tiga tahun lalu adalah karena salah satu rencana hidup yang
dituliskannya di tempat ini? Tapi sudahlah itu tidak lagi menjadi bagian yang
harus kuketahui. Deka dan dunianya benar-benar telah mati dalam duniaku walau
mungkin dia masih tersenyum manis di dunianya bersama gadis lain di sampingnya.
“melamun saja neng” sapaan pak Herman si petani garam yang sudah
lama akrab denganku dan Deka memecahkan lamunan. Membuyarkan gambaran masa
kecil yang kuputar ulang.
“eh iya pak Herman, bapak belum pulang?” tanyaku pada pak Herman
mencoba mengalihkan pembicaraan. Khawatir dia akan menanyakan soal Deka padaku
karena sungguh aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa padanya.
“sudah lama ya tidak bermain di tengah pematang garam? Si Deka mana
neng? Gak ikutan?” sudah kuduga pak Herman akan bertanya demikian. Karena setiap
kali kami bermain dan sesekali mencari inspirasi untuk tulisan kami di tempat
ini, pak Herman seringkali menemani bahkan tak jarang sudi menjadi informan. Menjawab
setiap pertanyaan khas anak ABG dengan penjelasan yang sangat detail terutama
tentang produksi garam yang sudah digelutinya sejak remaja. Maka tidak heran
jika hari ini, tepat 25 tahun beliau mengenal baik dan menekuni profesi ini
sudah menjadi bos yang mempekerjakan puluhan karyawan untuk sebuah label garam Madura
yang berkualitas di pasaran.
“tidak pak, Deka tidak ikut. Dia sedang sibuk” jawabku sekenanya
dengan mengembangkan senyuman pertanda tidak ada apapun yang aku sembunyikan.
Aku tidak tahu apakah pak Herman bisa membaca bahasa tubuh tentang makna
tersirat yang terselip dalam jawabanku atau tidak.
“sudah sore neng, bapak duluan ya. Sudah ditunggu ibu di rumah”
pamitnya dengan ekspresi wajah terburu-buru.
Walaupun sudah menjadi bos dengan puluhan karyawan, pak Herman
masih saja sederhana. Bahkan membungkukkan badannya saat berpamitan padaku.
Sungguh kebijaksanaan hidup yang seperti inilah yang perlu dilestarikan oleh
generasi-generasi bangsa khususnya masyarakat Sumenep. Kota kecil yang tanahnya
subur ditumbuhi berbagai tanaman. Sungguh aku mencinta kotaku ini lebih dari
apapun. Dan cinta pada tanah inilah yang kemudian membuat aku lebih kuat dan
tegar. Melupakan semua kesedihan demi membangun kembali mimpi yang telah aku
tuliskan di rencana hidup itu. Dan salah satu mimpi itu adalah senyuman Sumenep
esok hari.
Melestarikan kebijaksanaan hidup yang satu ini sama seperti
ungkapan yang ribuan kali diulang dalam sambutan bapak bupati dalam rangka
pelestarian budaya lokal. Aku dan Deka ada di antara ratusan orang yang
memadati ruangan acara, tempat di mana kesenian khas daerah Sumenep di
tampilkan dengan elok. Salah satu tarian yang kusukai ketika itu adalah tarian
duplang. Tarian khas yang menggambarkan kehidupan seorang wanita desa.
Dirangkai dalam gerakan yang sangat indah, lembut dan bersahaja.
Hari itu aku datang kembali ke lokasi pematang garam hanya untuk
tersenyum menyaksikan memori yang kembali akan terputar otomatis walau rasa itu
tidak lagi sama. Aku hanya ingin datang untuk terakhir kalinya dan ucapkan
selamat tinggal pada kenangan indah itu. Terimakasih karena telah melengkapi
cerita hidupku.
“selamat nona!”
“congratulation! dude”
“happy graduation Non”
Hari ini aku mengikuti wisuda strata satu di salah satu kampus
terbaik yang dimiliki kota Sumenep. Dua bulan setelah kabar pernikahan Deka
sampai di telingaku. Lihatlah Deka hari ini aku meraih apa yang tempo hari aku
inginkan kau do’akan dan kita aminkan bersama. Aku bahagia, tersenyum ceria
dalam pelukan bapak dan mamak yang tengah diabadikan gambarnya oleh kameramen
yang memang ditugaskan khusus mengabadikan senyuman terbaik kami hari ini.
Apakah aku masih menunggumu datang di hari bahagiaku ini? Seperti dulu impian
yang kita rangkai bersama. Berdiri gagah dengan jas hitam di hari wisudaku.
Tidak. Aku tidak mengharapkan hadirmu lagi. Dan aku lebih baik tanpa kembalimu.
Semua cerita dan impian itu aku hapus sudah. Aku simpan di lapisan
gudang terbawah bersama tumpukan debu yang mulai tersusun setebal kamus kaba.
Dan tidak ingin aku buka lagi. Apa aku terlalu sedih? Entahlah. Toh hari ini
aku bahagia dengan senyum bapak dan mamak yang tak pernah pudar. Senyum om
Penta, mas Tetra, dek Di juga Okta yang hari ini turut hadir membuat bahagiaku
lebih sempurna.
“kak Nona selamat ya, Di
bangga sama kakak. Di besok juga mau pake toga ini” celoteh Di sambil memegang
togaku dan tersenyum memperlihatkan dua gigi
serinya yang tanggal.
“selamat ya”
Suara asing tiba-tiba menegurku yang sedang tertawa, menyaksikan
kebahagian mereka yang tengah mengabadikan wajah-wajah riangnya. Aku gelagapan,
terkejut.
“eh iya terimakasih” jawabku tersenyum simpul dan penuh Tanya apa
gerangan yang membawanya tiba-tiba kemari setelah kuhapus semua ceritaku
tentangnya.
Suara itu bukan suara indah yang kemarin selalu kukenang. Bukan
pria pemilik tawa yang aku sukai. Laki-laki yang berdiri di hadapanku dan
menjulurkan tangannya ini bukan Deka. Tapi kak Heksa. Heksa yang dulu aku
diam-diam menjadi secret admirernya. Heksa yang membuatku membangun
benteng pertahanan setinggi tembok China setelah melihatnya merangkul bahu
wanita di sebelahnya. Dan lihatlah wanita itu berdiri di sana, di sebelahnya.
Dan dia menggunakan toga yang sama denganku. Oh god! Apa lagi ini?.
Kenapa laki-laki ini berdiri di sini dan siapa wanita itu?.
“selamat Nona kamu memang pantas mendapatkan predikat mahasiswi
terbaik kampus kita” ucap wanita itu juga dengan mengulurkan tangannya tanda
selamat. “aku Metil adiknya kak Heksa yang juga satu kampus denganmu” lanjutnya
memperkenalkan diri.
Oh ya? Jadi wanita itu adiknya? Kenapa aku tidak pernah tahu?. Tapi
kak Heksa tidak lagi penting toh imej baik yang aku tangkap darinya
sudah lama kulupakan. Dia adiknya atau bukan apa peduliku?.
“kami duluan ya, ayah sama
bunda nunggu di sana” ucap Metil sembari
menunjuk ujung seberang jalan tempat mobil mereka terparkir.
“oh iya iya silahkan” jawabku cepat demi membiarkan mereka segera
pergi. Entahlah aku terlalu membenci kak Heksa sejak hari itu. walaupun ku akui
pesonanya masih tetap sempurna. Tatapan mata yang kemarin aku sukai darinya
masih tetap sama. Hangat dan menentramkan.
“selamat ya Nona”
“selamat ya cantik”
“selamat ya say”
Dan ribuan selamat lainnya. Tapi aku sudah berpindah ke ruangan lain. Ruangan yang dihias indah
dengan jutaan bunga yang ditempelkan dikain dekorasi. Entahlah aku tidak paham
dunia dekorasi tapi aku cukup tahu ini indah.
“selamat ya Nona dan Heksa.
Semoga hidup kalian bahagia selalu”.
“live happily ever after ya dude”
Kalian paham kan aku sedang berada di ruang apa? Dan di sebelah
siapa?. Kak Heksa sedang berdiri gagah di sebelahku menyalami setiap tamu yang
hadir. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Bagaimana dengan benci itu? semua itu
menguap bersamaan dengan usaha kak Heksa beberapa bulan yang lalu setelah
pertemuan singkat di hari wisudaku.
Dia datang ke rumah seminggu setelah hari itu. dia tidak datang
sendiri tapi dengan kedua orang tuanya. Aku yang hari itu sedang membantu mamak
di dapur bingung dengan kehadiran tiga orang ke rumah kecil kami. Aku menolak
lamaran itu, pasti. Bukan karena aku tidak percaya pada pernyataan kak Heksa
yang sudah tahu banyak tentangku tapi ini terlalu cepat. Dia bilang, dia diam-diam
menjadi secret admirerku. Dan aku hanya menunduk menatap barisan keramik
di lantai rumah.
“kamu bahagia Nona?” bisik kak Heksa di telingaku saat tamu
undangan berlalulalang menyalami kami.
“iya kak, today is
amazing and I never feel it before” jawabku berbisik tersenyum tanpa
melihat wajahnya yang juga tengah sibuk menyalami tamu undangan. Meniru jawaban
princes dalam kisah negeri dongeng antah berantah.
“kak Nonaaa” dek Di berlari ke arahku merentangkan kedua tangannya
siap memelukku. Aku memeluk adik kecilku ini erat. Lihatlah dek Di menangis di
pelukanku.
“kak Nona tetep main sama Di ya kak” rajuknya dengan wajah
menggemaskan yang aku balas dengan anggukan dan cubitan kak Heksa di pipi
gembilnya. Dek Di datang bersama dengan om Penta dan mas Tetra lalu Okta
menyusul di belakangnya dengan grasa-grusu sibuk karena ditinggal rombongan.
“selamat ya Non, Heksa”
Ucapnya dengan senyuman tersungging indah dan tangan terjulur. Aku
yang sedang menanggapi celotehan dek Di tiba-tiba menoleh ke asal suara dan aku
Reflek menggenggam erat tangan kak Heksa yang mulai menunjukkan ekspresi
bingung. Suara itu suara yang aku rindukan tiga tahun terakhir. Laki-laki
misterius yang kunantikan hadirnya. Deka berdiri gagah di hadapanku seorang
diri.
Komentar
Posting Komentar